21 September 2008

Koridor Penantian.....

Minggu (3/8) dini hari. Pada waktu hampir sama, sekitar pukul 05.30 WIB, dokter Erwin
--juga masih pake sarung plus kopiah-- kembali menjenguk ruanganku. Kali ini dia rupanya ingin lebih intens mengikuti perkembangan hasil operasi yang dilakukannya.

Kesempatan itu langsung kumanfaatkan untuk mengeluhkan rasa nyeri yang masih kurasakan meski sudah diberi suntikan anti sakit oleh perawat. Mendengar keluhanku itu, dokter Erwin lalu meminta perawat untuk memberi obat anal. Obat pereda sakit yang dimasukkan lewat --maaf-- dubur. "Obat ini memberi efek lebih baik ketimbang suntikan," tutur sang perawat.

Memang, setelah istriku memasukkan obat seperti 'peluru' berwarna putih itu, rasa nyeri di pundak kiriku berangsur lenyap. Dan hari itu, bisa kulalui dengan lebih baik. Seperti operasi sebelumnya. Seharian itu aku kembali mengamati sekelilingku.

Semua masih seperti sehari atau malah dua hari sebelumnya. Jumlah pasien masih lima orang. Dua anggota marinir, dan lainnya pasien sipil. Pak Masrukan masih juga belum dioperasi. Entah kenapa dia harus menunggu jadwal operasi untuk tulang selangka begitu lama. Menurut pak Masrukan, operasinya baru diagendakan hari Senin.

Oya, hari ini ranjang pak Yahya kosong. Pria keturunan Arab ini 'mudik' untuk menikmati suasana lain di rumahnya. Sebagai pasien yang sudah menghuni ruangan ini sejak dua bulan lalu, pak Yahya memang sepertinya diberi 'hak istimewa' pulang pada saat-saat tertentu. Yah sekedar week end mungkin agar tidak makin stres menghadapi luka di bagian paha kanannya.

Tabung infus berikut selangnya sudah dilepas dari tangan kananku. Namun, jarum yang ada di punggung pergelangan tangan kananku tak ikut dicabut. Melalui jarum itu, perawat memberiku obat pereda sakit setiap hari tiga kali. Siang sekitar pukul 14.00, malam jam 20.00, dan dini hari pukul 04.30. Di saat-saat pemberian suntikan ini lah aku pasti stres, lantaran rasa sakit yang begitu kuat ketika cairan obat itu menjalari pembuluh darah di tangan kananku. (*)

20 September 2008

Menit menit penentuan.....

Sabtu (2/8) Subuh. Sekitar pukul 05.30 WIB, masih dengan mengenakan sarung dan kopiah, dokter Erwin kembali mengunjungi kamar perawatanku. Selain memeriksa kondisi pasien lain yang ada di bawah penanganannya, dia juga kembali meminta ketegasan soal keputusanku.

"Kalau akhirnya ini saya serahkan dokter, saya harap yang terbaik yang dokter lakukan pada saya!" Hanya itu kalimat penuh kepasrahan yang bisa aku ucapkan padanya. Dengan harapan, pada operasi berikutnya ini dia betul-betul melakukannya dengan teliti sehingga nanti mendapat hasil maksimal.

Istriku yang mengetahui kegundahan hatiku mencoba ikut ambil peran. "Apa dokter bisa memberi jaminan tertulis? Karena kantor suami saya tentu juga ingin mendapat keyakinan bahwa tindakan yang dilakukan tidak merugikan karyawannya!"

Tampaknya dokter Erwin sedikit terusik dengan gertakan itu. Tapi, dokter spesialis tulang, sendi, urat, dan otot ini mencoba berkelit,"Bisa saja saya memberi surat itu. Nggak masalah. Tapi apa perlu. Karena ini sudah sering saya lakukan. saya yakin tidak ada efek apa-apa terhadap kondisi kaki karena yang diambil sedikit sekali."

Akhirnya memang hanya kepasrahan pada-Nya yang bisa kulakukan. Seraya terus berharap dan berdoa agar Allah tak henti memberi kekuatan padaku untuk menjalani cobaan ini. Begitu dokter Erwin berlalu, suster kembali memasang botol infus dan menyerahkan baju seragam yang mesti dipakai untuk masuk ruang operasi. Jika sebelumnya ada celana panjang plus baju lengan pendek dengan warna sama, kuning, kali ini hanya baju yang diserahkan.

Tak masalah. Karena saat operasi pertama hari Kamis lalu pun celana itu tidak kupakai. Untuk penutup bawahan, kupakai kain sarung yang kubawa dari rumah. Atas perintah dokter Erwin, perawat sudah mengantarku ke ruang bedah lebih awal, sekitar pukul 08.00 WIB.

Menjelang pintu masuk ICU yang berbatasan dengan ruang bedah, aku bertemu dengan Edi, teman dari bagian layout di kantorku. Dia sedang menunggu pacarnya yang menjalani operasi juga. Tapi untuk kasus semacam tumor di bagian kewanitaannya. [belakangan baru kuketahui, gadis itu meninggal lantaran penyakitnya sudah kronis. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun......]

Adikku, Ari kali ini datang lebih awal. Dia --sesuai janji dokter Erwin-- diberi kesempatan untuk ikut masuk ke ruang operasi. Sebetulnya peluang itu diberikan pada isteriku, tapi lantaran khawatir malah bakal pingsan di dalam, maka Ari yang gantikan posisinya.

Ayahku dan Dini juga ikut mengiringi ke pintu masuk ruang bedah. Ibu tidak ikut datang. Selain perjalanan menuju paviliunku cukup jauh, hari itu Ibu juga mengurus berkas pengobatan Ayah.

Momon, adikku yang kerja di Semarang juga sempat datang bersama isteri dan anak bungsunya, Sultan. Tapi, aku tak sempat ketemu mereka. Aku sudah di dalam menunggu persiapan pembedahan berikutnya. Persiapan awal sudah dilakukan. Berikutnya suntikan, entah untuk apalagi.

Setelah itu, aku digeser ke ruang cukup luas dengan lampu-lampu bulat besar di atas. Tubuhku hanya tertutup kain warna hijau. Kain sarungku sudah ditarik paramedis. Tangan kananku yang tersambung slang infus diletakkan pada sebuah papan dan diikat. Disambung dengan alat pengukur tekanan darah. Tenaga paramedis juga memasang tiga alat deteksi jantung. Satu dipasang di punggung sebelah kiri, dua lainnya di dada.

Aku sempat melirik jarum jam yang menunjuk angka 10.00 sebelum akhirnya kembali kehilangan kesadaran. Tanpa mimpi yang sempat kuingat, atau apa pun yang menyela ketidaksadaranku. Hanya sesaat ketika kudengar suara berisik. Kesibukan para perawat yang membereskan ruangan.

Ada rasa lain yang terasa tidak nyaman. Tidak seperti operasi sebelumnya. Operasi ketiga ini menimbulkan rasa perih pada luka bekas operasi. Kepedihan itu begitu terasa seakan aku tadi tidak diberi obat pereda sakit.

Sekitar pukul 14.00 WIB aku meninggalkan ruang bedah dan menuju kamar foto rontgen. Kembali ke paviliun, aku disambut pelukan Dini. Lintang, anak sulungku tidak ikut karena sejak Kamis kemarin ada di Gresik untuk ikut kompetisi panjat tebing.

Dada ini terasa plong. Paling tidak kehadiran mereka membuatku jadi sedikit nyaman. Meski akhirnya aku tak kuasa menahan lelehan air mata. Bukan penyesalan karena pilihan operasi yang baru saja kujalani.

Tapi, luka itu begitu terasa nyeri! Waktu masuk paviliun itu pula, aku baru sadar bahwa kaki kiriku, mulai bagian lutut ke bawah dibebat sepanjang lebih dari 20 cm. "Seperti apa luka di kaki yang kata dokter diambil jaringan tulangnya ini?" (*)

10 Agustus 2008

niGHt mArE

Jumat (1/8). Seharian ini kulalui tanpa ada sesuatu yang istimewa. Selain slang infus sudah dilepas, aku masih mendapat suntikan untuk pereda rasa sakit.

Hari ini kamar 2 di paviliun C-1 RSAL mendapat tambahan tiga pasien lagi. Satu anggota taruna yang sedang menempuh pendidikan diduga patah tulang ekornya akibat jatuh terduduk di kamar mandi. Satu lagi anggota marinir dengan pangkat --kalau tidak salah pratu-- mengalami luka cukup parah lantaran tabrakan dengan truk. Yang lain sipil. Remaja dengan kasus --lagi-lagi sama dengan yang aku alami, patah di tulang belikat. Tapi dia bagian kanan.

Praktis seharian ini seluruh awak paviliun C-1, tenaga paramedis, perawat, plus cleaning service sangat sibuk. Sayang di wajah mereka sama sekali tak tersirat senyum keramahan. Baik dengan penghuni baru maupun yang lama. Baik dengan anggota militer, apalagi dengan pasien sipil.
Sore harinya, dokter Erwin muncul dan langsung ke ruang perawat untuk memeriksa foto hasil rontgenku.

Informasi berikut yang diberikan dokter berwajah ganteng dan pintar omong ini betul-betul bikin aku terpaku. Apa aku tidak salah dengar? "Tulangku ternyata belum nyambung!"

Dokter Erwin lalu menunjuk hasil rontgen yang agak gelap yang memperlihatkan di bagian clavicula memang ada sisi yang memperlihatkan tulang belikat itu masih ada renggangan, ada jarak hampir 0,5 cm. Tak yakin dengan penjelasan dokter, aku kembali mencermati foto rontgen itu. Tetap tidak berubah.

Untuk itu, menurut dokter Erwin yang didampingi sejumlah asistennya, perlu dilakukan operasi ulang.

Informasi ini tentu jadi mimpi buruk buatku. Karena langsung terbayang aku masih harus jalani operasi lagi untuk pencabutannya nanti.

"Pertumbuhan tulang lambat," begitu penjelasan dokter Erwin. Akhirnya kedahuluan jaringan lemak, soft tissue atau apalah namanya aku tak begitu paham. Yang pasti kepalaku mendadak jadi pening. Bayang-bayang segera pulang langsung buyar.

Itu belum seberapa. Petunjuk dokter berikut kembali membuatku terpaku. Untuk menambal kerenggangan di clavicula itu harus dilakukan dengan mengambil jaringan tulang di bagian kaki!

Memang ada alternatif lain. Tapi toh tetap sama. Pilihan itu tak memberi sisi baik buatku, karena penambalan itu disarankan dengan memakai bone draft, bentuk tulang --dari tulang mayat-- yang dibeli dari bank tulang di RSUD dr Soetomo. Harganya sekitar Rp 300.000.

Masalahnya jika alternatif ini kuambil, operasi tidak bisa dilakukan langsung. Apalagi hari itu sudah sore, besok adalah Sabtu yang pasti jadi hari libur bagi instansi pemerintah. Jadi kemungkinan Senin atau malah Selasa aku baru bisa menjalani operasi ulang.

Namun, jika aku sepakat penambalan dilakukan dengan mengambil jaringan tulangku sendiri, selain lebih aman --karena dipastikan tidak ada perbedaan sel dengan tubuh-- juga bisa dilaksanakan lebih cepat. "Saya jamin tidak ada efek apa-apa. Bahkan kamu bisa langsung pake lari nantinya!" cetus dokter ini meyakinkan.

Malam itu berjalan terasa lambat. Untung, malam harinya kedua orangtuaku datang dengan Dini. Juga Ari adikku dan istrinya. Mendekati pukul 22.00 WIB, Win, istri adikku, Yoyok dan kemenakanku, Eki menyusul bersama lik Prapti, bulikku yang tinggal di Jakarta. Dia kebetulan di Surabaya menjenguk saudaranya di Rungkut.

Ngobrol dan bercanda jadi hiburan di kala hati ini sedang tak menentu lantaran informasi baru dokter tadi. Ayahku juga sempat marah-marah ke perawat. Pasalnya, ketika kemarin bertemu dengan dokter Erwin, ayahku mendapat penjelasan bahwa pelaksanaan operasi berjalan lancar dan sukses. "Kenapa kemarin bilang sukses tapi sekarang harus operasi lagi!" sergah ayahku.

Setelah berunding dengan keluarga dan mohon petunjuk-Nya, akhirnya aku putuskan mengambil jaringan tulang sendiri. Selain gratis (tidak perlu beli), pelaksanaan operasi bisa dilakukan hari Sabtu (itu pun aku paksa dokter Erwin untuk menjadwalkan cepat agar semuanya bisa segera selesai). Tentu dengan harapan tidak akan timbul resiko seusai pengambilan jaringan tulang di kakiku.

Aku memang sempat konsultasi juga dengan Hari Erwanto, staf di PSDM kantorku. Dia memberi saran agar menolak pelaksanaan operasi ulang dan mencoba minta advis dokter lain lebih dulu. Usul ini memang agak menenangkan, karena kemungkinan ada sisi pandang lain dari dokter spesialis lain atas kasusku ini. Tapi kalau kemudian buntutnya tetap operasi bagaimana? Berarti aku membuang waktu beberapa hari dan tetap kembali ke meja bedah!?

Ah, peliknya masalah ini! Di puncak rasa frustasi aku mencoba berpikir jernih, dan mencoba melontar usul ke 'sidang keluarga' malam itu,"Bagaimana kalau dibawa ke Sumput aja, ke sangkal putung. Jadi biar gak pakai operasi. Toh, pennya sudah dilepas!"

Kali ini mereka sepakat menolak. Mereka tetap pada saran untuk operasi dengan mengambil jaringan tulangku.

Begitu anggota keluargaku kembali pulang, keresahan kembali mencekam. Malam itu aku susah tidur. Selain AC ruang cukup dingin, bayang-bayang operasi ulang dengan 'pencongkelan' di bagian tulang kering ini terus membayangiku. Hingga hari menjelang subuh. (*)

08 Agustus 2008

Operasi kedua........


Kamis (31/8) pagi itu, dua perawat sudah sibuk mencari urat nadi di tangan kananku untuk memasukkan jarum infus. Berikutnya suntikan untuk mengetahui kemungkinan aku menderita alergi tertentu. Persiapan awal lain beruntun dilakukan, seperti tes jantung sebelum akhirnya aku diminta memakai baju khusus untuk masuk ruang bedah.

Sekitar pukul 09.00 WIB, aku pindah ke ranjang yang kemudian didorong ke ruang anesthesi. Di ruang itu kulihat sejumlah pasien juga tengah menunggu giliran operasi.

Terakhir aku masih melihat jarum jam di dinding ruang bedah menunjuk angka mendekati pukul 10.00 WIB. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi sampai berikutnya sadar ketika mendengar ucapan salah seorang perawat,"Sudah selesai, Pak, operasinya!" Hampir empat jam aku tidak sadarkan diri dan menjalani operasi.

Sebelum kembali ke ruang perawatan, aku masih di atas ranjang beroda dan didorong menuju ruang rontgen. Kembali ke paviliun, pindah kembali ke ruang perawatan. Sama sekali tak ada yang istimewa. Semua aman.

Tak ada anggota keluarga lain yang menyambut usai operasi. Aku sendiri sengaja memberi tahu adik-adikku begitu pelaksanaan operasi usai. Aku tak ingin merepotkan mereka yang tentu punya kesibukan sendiri di hari kerja ini. Kedua orangtuaku yang sedang menjaga Dini, anak bungsuku di rumah juga kuminta tidak buru-buru datang ke RSAL. Selain lantaran lokasi kamarku jauh dari pintu masuk utama, aku anggap operasi ini tidak terlalu istimewa sehingga aku bisa segera kembali pulang.

Ketika masuk kembali ke ruang perawatan, aku baru menyadari di ruangan itu tinggal ada dua pasien, aku dan pak Yahya. Pria keturunan Arab ini malah sudah dua bulan menjalani perawatan akibat luka parah di kaki kanannya. Akibat operasi yang dia jalani ternyata daging di bagian pahanya tidak bisa tumbuh normal sehingga menimbulkan lubang hingga ke tulangnya. Wah!

Ruang kelas 3 ini terasa lengang hanya dengan dua pasien. Antar pasien bisa saling lihat karena tidak ada sekat yang memisahkan. Ini juga yang sering bikin pasien kehilangan rasa privasi. Meski semua pasien lelaki, namun yang jaga bisa istri, saudara perempuan, atau ibunya. Di saat seorang pasien harus menjalani perawatan khusus di salah satu bagian tubuhnya, bisa saja terlihat bebas oleh orang lain di ruangan itu.

Tadinya aku sempat minta pindah ke ruang kelas 2. Tapi, lagi-lagi terbentur masalah biaya. Ya sudahlah, toh kata perawat saya cuma akan dua atau tiga hari di rumah sakit itu.

Malam itu istriku bisa tidur sedikit enak di atas ranjang di sebelah kiriku yang semula di tempati anak kecil dengan luka di tangan kirinya itu. Tapi itu tidak lama. Lewat tengah malam, terdengar suara sedikit sibuk para perawat yang mempersiapkan ranjang di sudut dekat pintu ke kamar mandi.

Ada pasien baru. Kali ini namanya pak MAsrukan. Pria asal Probolinggo ini mengalami kecelakaan di kawasan Kebun Binatang Wonokromo. Gara-gara ngantuk sepulang menjalankan tugas di Madura, motor yang dikendarai pria dengan logat Madura kental ini membentur trotoar. Persis seperti aku, tulang belikat kiri patah. (*)

DaRK nIGhT @ RSAL


Tentu bukan kesengajaan jika isi berikut blog ini adalah kisah --yang lagi-lagi-- mengenai clavicula. Setelah sekian lama dijejali kesibukan rutin liputan dan liputan, akhirnya aku harus menetapkan waktu untuk melepas pen di tulang belikat kiri ini.

Sebuah pilihan yang sekali lagi terpaksa. Karena, jujur, aku sebetulnya tak menghendaki adanya aksi operasi apa pun yang buntutnya kembali berhubungan dengan rumah sakit. Tapi kecelakaan berikutnya yang terjadi tanggal 7 Juni 2008 lalu membuatku tak bisa mengelak operasi pengambilan pen ini.

Aku sendiri tak melihat adanya keterkaitan antara kecelakaan kedua di depan Bank Niaga Sidoarjo itu dengan keharusan menjalani operasi pengambilan pen. Sebab, waktu itu, kecelakaan tak membuat diriku terlalu 'merana' dibanding kecelakaan pertama di kawasan Jl Urip Sumoharjo. (baiknya aku pisahkan cerita kecelakaan kedua itu pada bagian tersendiri ya).

Namun, sepulang dari pelancongan ke Malaysia, saat bangun pagi mendadak terasa ada tonjolan di bagian pundak kiri. Ketika aku periksakan ke dokter Erwin Manaf --dokter yang merawatku khusus untuk kasus bedah tulang clavicula ini-- dan dari hasil rontgen dicurigai adanya posisi pen yang miring.

Kenapa? "Mungkin karena mur yang kendor!" Jawaban dokter ini tak hanya bikin kepala jadi pening, tapi hati juga resah. Lha mur kok kendor, kayak mur motor yang kendor kalau lepas kan onderdil bisa lari kemana-mana!

Keresahan itulah yang akhirnya membuatku mengambil keputusan untuk segera melakukan operasi pengambilan pen!

setelah berunding dengan pihak PSDM di kantor, aku menghubungi kembali dokter Erwin untuk menyepakati tanggal 30 Juli 2008 aku masuk RS TNI AL dr Ramelan. Dokter Erwin yang berpangkat mayor TNI Angkatan Laut itu memang praktek di rumah sakit tersebut. Selain itu, rumah sakit ini kupilih, karena biaya operasi bisa lebih murah (kalau aku kembali ke RS Delta Surya Sidoarjo bisa mencapai Rp 11juta-12juta, belum termasuk obat-obatan dan lain-lain).

Sementara di RSAL hanya sekitar Rp 3,5 juta-4,5 juta hanya untuk bea operasinya. Dan kebetulan kantorku sudah menjalin kerja sama dengan RSAL sehingga proses administrasi bisa dilakukan dengan mudah.

Resikonya memang jadi jauh dari rumah. Tapi mau bagaimana lagi. Soal dana ini harus lebih diutamakan agar aku tak tekor gara-gara nambahin bea operasinya nanti.

Hari pertama masuk rumah sakit menimbulkan rasa tegang dalam hati. Sekitar pukul 18.00 WIB aku bersama istri masuk lobi UGD untuk melakukan pendaftaran. Sambil menunggu proses input data administrasi, aku diminta kembali rontgen.

Begitu mendapat informasi ruang tempat aku menjalani perawatan, aku dan istri langsung mencarinya dengan menapaki koridor rumah sakit yang lumayan besar itu. Akhirnya kami sampai di paviliun C-1.

Saat itu dari enam ranjang yang mengisi ruangan berukuran sekitar 6x6 meter itu hanya menyisakan dua ranjang kosong, termasuk yang akhirnya aku isi. Beruntung aku mendapat posisi tepat di sisi jendela dekat pintu masuk. Di sebelahku ada pasien anak-anak yang tampaknya mengalami patah tulang di tangan kirinya. Lainnya, orang dewasa dengan kasus mirip, patah tulang dengan posisi berbeda-beda.

Aku melihat jam dinding yang masih menunjuk angka 19.30 WIB. Masih cukup lama untuk menambah porsi ketegangan sampai esok pagi dilakukan operasi. Akhirnya kuajak istriku pelesir ke Royal Plaza, yang persis ada di depan rumah sakit ini. Dari sekadar ingin melepas keresahan hati lalu kuputuskan masuk gedung bioskop di lantai paling atas. Filmnya: Dark Night, film yang laris saat ini dan menduduki posisi puncak Box Offfice.

Alih-alih melepas ketegangan, film yang ternyata durasinya hampir dua jam ini malah membuat ketegangan berikutnya. Selain lantaran alur cerita yang sangat menyita perhatian serius, di tengah-tengah keasyikan menonton HPku berdering. Dari kantor!

"Sampean dicari orang RSAL. Ditunggu di paviliun C-1!" begitu pesan operator telepon di kantorku saat telepon aku jawab.

Lha! Tanpa menunggu film selesai, kami akhirnya meninggalkan gedung bioskop. Saat sampai di pintu depan paviliun C-1, kami baru sadar, pintu kaca itu dalam keadaan terkunci!
Inilah kesalahan pertama masuk RSAL, tidak menanyakan prosedur 'lalu lintas' ruang perawatan.

Belakangan baru kuketahui bahwa setiap pukul 22.00 WIB, pintu paviliun memang dikunci. Dengan wajah bersungut, salah seorang perawat yang membukakan pintu paviliun menambahkan pesan,"Pak puasa ya, besok kan operasi!" (*)

25 Maret 2008

Bermain-main dengan Pussy


Kecintaannya dengan hewan trah harimau ini sudah melekat sejak kecil. Waktu remaja, wanita bernama lengkap Ratih Sri Umiyati ini mengawali dengan memelihara kucing lokal. Di rumahnya terdapat sedikitnya lima ekor kucing kampung.
“Waktu itu Mama melarang memelihara kucing ras karena dianggap belum mampu dan belum memiliki tanggung jawab terhadap hewan yang harganya tidak murah,” papar Ratih, begitu wanita ini akrab disapa ketika disambangi Surya di rumahnya di Graha Family, Kamis (31/5). Ditambahkan, dulu kucing ras memang sangat sulit didapat sehingga harganya pun relatif mahal.
Setelah menikah, bungsu dari empat bersaudara ini ternyata mendapat dukungan penuh dari suami untuk memelihara kucing ras. Bisa dimaklumi. Pasalnya, sang suami waktu masih di Kanada juga pernah memiliki beberapa ekor kucing Persia.
Dan kini, di rumahnya seakan jadi ‘kerajaan kucing’. Sedikitnya 70 ekor kucing jenis Persia menghuni setiap sudut rumahnya, bahkan kamar-kamar di rumah tersebut ‘dikuasai’ binatang peliharaan berbulu lebat itu. “Kucing Persia pertama yang saya miliki saya beli dengan harga Rp 1.750.000. Kucing jantan bernama Simba itu sangat menarik dengan warna krem,” tuturnya.
Sejak memiliki Simba, maka wanita cantik kelahiran Surabaya, 27 Maret 1973 ini lalu mengenal dokter hewan, rumah sakit hewan, petshop, serta komunitas kucing. Sejak itu pula perburuan terhadap kucing Persia berkualitas pun dimulai. “Setelah yakin mampu memelihara dengan benar, saya akhirnya mencoba mendatangkan kucing-kucing berkualitas dari beberapa Negara seperti Kanada, Rusia, Amerika, dan Jerman,” ungkap Ratih.
Ketika koleksinya sudah cukup ‘berbobot’ maka Ratih memberanikan diri mengikuti kontes. Hasilnya beberapa ‘anak asuh’ Ratih seperti Midnite Show, Mr Van, Mirabel, Kiss Me, dan I Love You Too meraih penghargaan di tingkat regional Jatim dan nasional. Mereka bahkan pernah memperoleh prestasi di ajang International Cat Show yang diadakan di Jakarta maupun Bandung.
Dengan adanya kucing-kucing impor yang berkualitas, Ratih pun resmi menjadi cattery (breeder yang berhak mengeluarkan sertifikat) dengan nama MY TLC. TLC adalah singkatan Tender Loving Care artinya Cattery yang merawat kucing-kucingnya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Tahun 2003, MY TLC resmi menjadi cattery yang berstandart internasional dengan menjadi anggota cattery di FIFe (Feline International Federation) yang bermarkas di Swiss.
Tak hanya itu. Ratih juga aktif dalam organisasi ‘perkucingan’ yaitu Indonesian Cat Association (ICA). Perhatiannya yang besar pada satwa jinak ini pula yang akhirnya menempatkan Ratih sebagai Ketua ICA Korwil Jatim.
“Kucing Persia itu jenis hewan yang tak banyak bersuara, mudah beradaptasi dengan binatang lain maupun anak kecil. Karena itu saya lebih suka memeliharah kucing Persia ketimbang kucing ras lain,” jelas Ratih yang bercita-cita memiliki rumah sakit hewan ini.
Menurut Ratih, puluhan kucing kesayangannya itu rutin menjalani latihan olah tubuh dengan lari-lari di taman belakang rumah atau bagian lain di rumah berukuran besar tersebut selama dua jam setiap hari. “Ibaratnya, tidak ada satu ruangan pun yang dilarang bagi kucing untuk bermain,” tegasnya sambil tersenyum.
Meski begitu, lanjut Ratih, kucing jantan, kucing yang hamil dan anakan yang kurang dari tujuh bulan, mendapatkan tempat khusus saat bermain. Tujuannya agar kucing jantan tidak berkelahi dengan kucing jantan yang lain, bagi kucing yang hamil tidak mengalami keguguran dan bagi kucing anakan tidak mengalami cedera patah tulang. *

Harus Rajin Potong Kuku

Jangan bayangkan hidup bersama puluhan ekor kucing Persia selalu menikmati kegembiraan menyaksikan tingkah mereka yang lucu. Perhatian penuh sang pengasuh juga dibutuhkan ketika binatang keturunan harimau ini sedang mengalami sakit.enurut Ratih, penyakit yang biasa menyerang kucing trah Persia ini nyaris tak beda dengan manusia. Selain flu (pilek), kucing berhidung pesek ini juga bisa kena sariawan, sakit mata, dan jamur kulit.
Dan penyembuhannya ternyata juga tak susah karena bisa diberi obat yang biasa dikonsumsi manusia jika sedang sakit yang sama. Kalau kena flu misalnya, bisa diberi Amoxycilin jenis sirup kering. Untuk daya tahan, kucing jenis ini bisa pula diberi Natur E atau Curmino.
“Tapi, dosisnya disesuaikan. Untuk kucing cukup seperempat dosis yang biasa dikonsumsi anak-anak,” papar Ratih yang kini tercatat sebagai mahasiswa D-3 Veteriner/Kesehatan Hewan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Dan jika terkena sakit mata, menurut Ratih, cukup diusap dengan kapas yang sudah dibasahi dengan cairan boorwater.
Namun, pengobatan yang dilakukan sendiri itu pun ada batas toleransinya. “Kalau sampai tiga hari nggak juga sembuh kita harus segera konsultasikan dengan dokter,” tegasnya.
Perhatian juga diperlukan untuk memotong kukunya secara rutin setiap minggu sekali, sehingga kucing-kucing manis ini tak sampai melukai temannya atau mencakar benda-benda di rumah. Selain itu, kesehatan telinga kucing Persia juga perlu diperhatikan dengan membersihkan setiap hari.
Ketika sang kucing Persia betina melahirkan juga perlu pertolongan. Pasalnya, waktu melahirkan anaknya sang induk melalui proses cukup berat. Bentuk kepalanya yang bulat membuatnya cukup sulit keluar. Dan begitu sudah lahir, maka sang induk sibuk sendiri menyembuhkan rasa sakit sehingga tak mempedulikan anaknya.
Karena itu,”Kita harus sigap segera membuka selaput plasenta yang masih menutup tubuh bayi kucing itu serta memotong tali pusarnya,” papar Ratih. **

21 Maret 2008

Jumping @ Rusun Urip (4-tuntas)


Awal dan akhir, adalah titik yang sulit. Maka perjalanan terasa jadi panjang untuk menggapai ujung.
Hari-hari setelah kecelakaan, masuk rumah sakit, dan menjalani perawatan, dan dilanjut obat jalan, termasuk beberapa kali control ke dokter Erwin, Alhamdulillah, semua berjalan lancar dan baik. Sebulan patuh tanpa aktivitas bermotor secara langsung. Bukan berarti sama sekali tidak pergi keluar rumah. Bahkan aku cuma dua minggu menjalani istirahat total, setelah itu sudah tidak tahan untuk tidak menjenguk kantor.
8 Juli 2007……..inilah pertama kalinya bisa menikmati ‘segar’nya kenikmatan sebuah aktivitas liputan seperti hari-hari sebelumnya. Siang itu, aku hadiri acara ulang tahun pernikahan ayahanda Ita Purnamasari di WTC. Tentu masih dengan tangan ‘tergantung’.
Awalnya dibonceng. Beberapa kali kegiatan di rumah kadang kujalani dengan menggunakan moda transportasi komuter, Pagerwojo-Giant. Juga angkutan kota (angkot) bison atau angkot JSP (Joyoboyo Sidoarjo Porong). Rutinitas baru yang harus kulewati hari ke hari, minggu ke minggu, hingga sebulan. Hingga genap dua bulan, aku minta agar bisa membawa mobil atau motor sendiri.
Alasannya jelas agar lebih menghemat. Karena jika naik angkutan umum, setiap hari harus siap ongkos sekitar Rp 10.000. Uang segitu bisa untuk mengisi BBM motor selama dua hari. Belum lagi soal waktu yang terbatas. Aku tidak bisa pulang larut malam kalau mengandalkan angkot. Dari depan kantor angkot yang arah A Yani hanya sampai pukul 21.00 atau 21.30. Beruntung jika bisa bareng Anas….bisa sampai depan pintu masuk perumahan. Tapi nggak enak juga tiap hari, meski dia sering memaksa. Aku tak ingin merepotkan orang, apalagi jika terlalu sering. Karena aku belum tentu bisa berbuat yang sama pada mereka.
Alhamdulillah, masa-masa sulit itu cepat berlalu. Berkat ketaatan pada ‘petunjuk’ dokter Erwin, semua bisa kulewati dengan mudah. Tanpa terjadi ‘petaka’ seperti yang sering dia ingatkan dengan mengambil contoh pasien-pasiennya yang ‘nakal’.
Akhirnya aku kembali ke ‘kehidupan malam’. Habitat yang rasanya sulit aku tinggalkan sebagai akibat ‘insomnia’. Berkumpul dengan komunitas di Colors Pub, Van Java, Vista Sidewalk Café, dan juga LCC Club. Welcome back….to the nightlife!!!

19 Januari 2008

Jumping @ Rusun Urip (3)


Masih di hari keenam bulan Juni 2007....[pukul 3 lebih 20an menit]
Untungnya, adikku kemudian datang. Dia segera memberesi administrasi untuk pendaftaran UGD dan juga untuk keperluan rontgen. Begitu lunas, petugas UGD dengan sigap langsung mendorong tempat tidurku menuju ruang rontgen.
Saat itu kulihat beberapa teman kantor juga sudah mulai berdatangan. Ada Koko, Pak Ruru, Pak Hari (bagian PSDM), Ravi, dan beberapa lagi yang tak sempat kuingat. Mereka mengantar sampai depan pintu ruang rontgen.
[Hari itu rupanya jadi ‘Hari Naas’ buat kantorku. Sebab, ternyata selain aku masih menyusul beberapa karyawan mendapat musibah juga. Pak Hari yang buru-buru menyusulku ke RS Adi Husada kendaraannya selip tak jauh dari lokasi rumah sakit. Yang lainnya, ada karyawan baru di bagian lay out terkena jeratan benang layang-layang sehingga menderita luka serius.
Sehari sebelum kecelakaan yang menimpaku, Dwi Pramesti, juga mendapat kecelakaan di Jl Jemursari sehingga harus dirawat di rumah sakit. Meski tak sampai harus pasang pen seperti aku, cewek seksi yang biasa disapa Ame ini malah menjalani perawatan lebih lama dariku. Karena ketika aku sudah masuk kantor, Ame masih belum kelihatan.]
Sekitar lima menit kemudian aku didorong kembali ke ruang UGD. Saat itu kulihat dua orang petugas kepolisian yang katanya dari Polwiltabes Surabaya melengkapi catatan mereka terkait kecelakaan yang menimpaku. Sambil meminta data ke petugas UGD, petugas yang aku lupa pangkat dana namanya itu bercerita bahwa kasus yang menimpaku bukan yang pertama kali.
Sebelumnya juga terjadi kecelakaan yang sama, seorang pengendara sepeda motor jatuh gara-gara kena sodok ‘bola liar’ yang dimainkan anak-anak kampung Urip Sumoharjo di kawasan rusun itu. “Sampean masih untung, Mas. Yang dulu itu korbannya meninggal karena kepalanya terbentur trotoar!” beber sang petugas kepadaku yang cuma bisa mengangguk-angguk.
Dalam benakku lalu terbersit pertanyaan, kalau memang ini bukan yang pertama, dan bahkan sudah menimbulkan korban nyawa, kenapa masih berulang? Kenapa tidak ada teguran ke masyarakat setempat, khususnya para remaja agar tidak main bola sembarangan sehingga merugikan orang lain.
Ah, aku baru ingat kalau nyawa manusia di negara ini memang sangat, sangat murah. Atau bahkan sama sekali tak berharga. Apalah arti nyawa seorang Marsinah, sehingga kasusnya hingga kini tak pernah jelas benar seperti apa. Nasib yang tak jauh berbeda dialami Mbak Suci yang hingga kini juga masih ‘keronto-ronto’ memperjuangkan penyelesaian misteri kematian sang suami, Munir.
Wah, kenapa sampai jauh ke soal Marsinah dan Munir. Apa pula yang bakal terjadi jika tadi –misalnya—aku tak terselamatkan, dan –masya Allah—meninggal ! Bagaimana dengan keluargaku ? Apakah dapat perhatian yang memadai dari kantorku ? Atau sekadar ucapan bela sungkawa ?!
Aku mendadak tersadar dari lamunan, ketika petugas rontgen datang membawa hasil foto tubuh bagian dalam diriku. Begitu ditempel di monitor, terlihat jelas di bagian kiri atas ada tulang yang kalau utuh panjangnya sekitar 10 cm. Tulang yang dalam istilah medis disebut clavicula itu patah di bagian tengah dengan menimbulkan sepihan kecil.
Keputusannya aku harus menjalani operasi penyambungan tulang tersebut. Masalahnya dimana? Kalau harus dilakukan di rumah sakit itu, berarti keluargaku harus bolak-balik Surabaya-Sidoarjo.
Dengan pertimbangan operasi pasti memakan waktu lama, dan untuk memudahkan keluargaku nanti jika menjengukku maka aku minta dirujuk ke rumah sakit di Sidoarjo! [to be continued]

16 Januari 2008

Jumping @ Rusun Urip (2)


Masih di hari keenam bulan Juni 2007....[waktunya lebih 10 menit dari saat petaka depan rusun Urip Sumoharjo terjadi]
Petaka tak pernah diduga kapan datangnya. Musibah juga tak kan pernah diketahui seperti apa wujudnya. Tapi begitu tragedi itu menimpa, kepasrahan kita pada-Nya diuji. Bukannya malah mengumpat dan mencari kambing hitam!
Aku malah merasa beruntung –seperti kata banyak orang Jawa, tetap merasa beruntung di tengah musibah yang menimpa. Allah, seakan menempatkan ‘seseorang’ untuk mendampingiku menghadapi petaka tersebut. Aku tak kan melupakan namanya: Syukur.
Laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang tambal ban di kawasan rusun Urip Sumoharjo. Dan belakangan kuketahui dia juga tinggal di rumah susun itu.
Pria itu dengan sigap menghentikan taksi yang lewat dan minta mengantarku ke rumah sakit. Dibantu beberapa orang yang masih berkerumun di situ, aku diangkat –sebuah usaha yang tidak mudah karena aku sendiri sulit menggerakkan tubuhku dengan baik—masuk ke bagian belakang taksi.
Aku masih ingat, tas ranselku nyaris tertinggal. Dengan bantuan pak Syukur, tas itu ikut masuk dalam mobil. Soal motor aku pasrahkan pada masyarakat setempat yang moga-moga bersedia menyimpannya untukku.
“Helm dan sepatunya simpan saja di tempatku!” pesan pak Syukur pada seseorang. Berikutnya, dia duduk di kursi depan di samping sopir taksi yang lalu menggerakkan kendaraannya menembus kerumunan manusia.
“Kemana ini?” tanya sopir taksi.
Spontan pak Syukur mengusulkan agar taksi menuju Rumah Sakit Adi Husada di Jl Undaan. “Kalau ke dr Soetomo penanganannya pasti lama!” komentar pak Syukur sambil menoleh ke belakang seakan minta persetujuanku. Aku pasrah saja.
Sambil terus istighfar tiada henti, aku meraih pesawat handphone. Mencari nomer, lalu mencoba menghubungi adik-adikku. Berikutnya aku pencet nomer Koko, teman kantorku. Aku beritahu secara singkat peristiwa yang baru aku alami, dan sekaligus memberitahu aku dalam perjalanan ke RS Adi Husada.
Begitu sampai di UGD RS Adi Husada, seorang perawat mencoba melihat kondisiku. Dan sesaat kemudian, dia sudah memastikan kondisi yang aku alami. Dengan bantuannya, aku dipapah keluar taksi dan dinaikkan tempat tidur dorong. Ketika bergerak menuju ruang periksa di UGD, aku baru sadar sopir taksi masih belum bergeser.
“Kasih ongkos seadanya, Pak” usul pak Syukur.
Aku mengambil dompet dengan susah payah di saku belakang celana. Untunglah, masih ada beberapa lembar ribuan dan selembar dua puluh ribu. Aku ambil recehan 20.000 dan aku sodorkan ke sopir taksi yang disambut dengan ucapan terima kasih lalu balik ke mobilnya.
Di ruang UGD, seorang perawat kembali memeriksa tubuhku. Tak berapa lama, dokter jaga meminta aku untuk dirontgen. Permintaan yang ternyata tak bisa segera terpenuhi. Alasannya, untuk bisa rontgen aku terlebih dulu harus membayar beaya administrasi sebesar Rp 80.000!
“Bea registrasi UGD bisa nanti, tapi untuk rontgen harus lunas dulu!” tegas petugas UGD.
Aku mulai bingung. Karena di dompetku tinggal recehan ribuan yang jumlahnya aku yakin tak sampai 10 lembar. Dan aku tentu tidak mungkin melibatkan pak Syukur untuk urusan beaya rontgen. Dia sudah cukup direpotkan dengan mendampingi aku sampai di UGD dan tidak meninggalkanku begitu saja. Aku kembali menghubungi pesawat handphone adikku, dan ternyata dia masih dalam perjalanan dari kantornya.
Aku lagi-lagi pasrah. Beberapa saat tergolek di ruangan serba putih itu tanpa disentuh apa-apa lagi. [Bahkan luka lecet di kaki kiri dan telinga kiri baru dibersihkan setelah adikku datang dan meminta luka itu ditangani.]
Urusan penanganan korban kecelakaan ternyata bisa jadi rumit jika tidak mempunyai uang! Kini aku benar-benar merasakan arti kelakar teman-temanku : jangan sakit kalau nggak punya duit!
Kalau yang macam aku saja diragukan untuk bisa memenuhi pembayaran bea pengobatan, bagaimana orang yang benar-benar tidak mampu ya? [to be continued]

12 Januari 2008

Jumping @ Rusun Urip (1)


6 JUNI 2007…….
Hari itu, RABU, pukul –sekitar— dua’an siang, dalam perjalanan liputan ke Club Deluxe.
Kecepatan kendaraan [Honda Kirana] seperti biasa. Standar, 50-60an km/jam. Tidak terlalu kencang karena arus lalu lintas di Jl Urip Sumoharjo saat itu cukup padat. Seperti biasanya.
Tepat di depan rusun, mendadak terlihat sepeda motor di depanku –aku masih cukup ingat dinaiki seorang pria—mendadak terjatuh. Untuk menghindari tabrakan, otomatis aku menginjak rem secepatnya.
“Alhamdulillah, beruntung aku masih bisa menghentikan kendaraan sehingga tidak sampai menabrak sepeda motor di depanku.” Itulah yang ada di benakku ketika aku merasakan laju sepeda motorku berhenti sekitar dua meter di belakang sepeda motor yang jatuh gara-gara pengendaranya kena ‘bola liar’ dari arah rusun Urip Sumoharjo.
Keberuntungan yang ternyata tidak 100 % sempurna. Pasalnya, sepersekian detik kemudian –sebagai efek kendaraan yang berhenti mendadak—tubuhku melenting. Tubuhku melesat dari motor dengan gaya yang tidak pernah aku ingat seperti apa.
Yang kutahu, saat berikutnya tubuhku sudah terkapar di atas trotoar sambil bibir terucap kata,”Ya Allah!” berulang-ulang. Tubuhku jadi perhatian banyak orang. Belasan orang mengerubuti, mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada diriku. ‘Oo, jik orip! Selamet!’ seru seseorang. "Istighfar, Nak! Ayo Istighfar!" ujar seorang pria tengah baya.
Seseorang yang lain berusaha melepas sepatu dari kakiku. Dalam ketidakberdayaanku, upaya –yang aku anggap sebagai pertolongan—itu aku biarkan. Helm yang semula lengket di kepala entah sudah melesat kemana. Namun, tas punggung masih menempel dan sekaligus sebagai tumpuan punggung saat aku jatuh.
Sambil mengikuti ajakan membaca istighfar, aku mencoba menggerakkan anggota badanku. Mulai dari jari kaki. Jari-jari di kedua kaki berfungsi baik. Aman. Lalu ganti jari tanganku. Juga begitu. Aman juga. Sambil menggerakkan jari tangan, aku memeriksa pesawat handphone yang menempel di tubuh. Semua masih ada di tempat masing-masing. Alhamdulillah, aman. Tapi begitu aku mencoba berdiri, ‘Ya Allah!’ Aku terkapar lagi! Ada yang tidak beres di bagian pundak kiri sehingga aku tak mampu berdiri. [to be continued]

Menyimak Sejarah Musik Lewat Kepingan CD

“Saya baru dapat lagi, Mas. Sepuluh CD ini kiriman teman dari Belanda. Harganya Rp 110.000/keping, kalau di toko bisa sampai Rp 150.000an/keping,” ujar Dodon dengan nada bangga saat ditemui di rumahnya di kawasan Perak, Surabaya.
Pria bertubuh tambun ini lalu sibuk membuka tower box di salah satu sudut ruang kerjanya, lalu ditunjukkannya 10 koleksi barunya tersebut. Tak cuma itu. Dodon juga menunjukkan sejumlah koleksi terbarunya macam album AKA, SAS, Grass Rock, dan (alm) Andy Liany. “Saya masih memburu album The Gembels dan The Hands. Seperti juga AKA dan SAS, mereka ini grup muncul saat saya sendiri belum lahir. Jadi (koleksi ini) tentu bakal jadi memori jika nanti mereka sudah tak ada lagi,” ujar pemilik nama Kartika Asianto Undoyoko ini.
Pesona musik memang luar biasa. Komposisi yang menggabungkan antara lirik dan irama ini tak hanya menghasilkan sebuah tembang yang nikmat untuk didengar. Keindahan musik juga bisa membius seseorang sehingga rela melakukan perburuan dalam jarak yang tak terbatas, serta menghabiskan dana yang tak terbayangkan jumlahnya.
Itulah yang dilakoni Dodon untuk memenuhi hasratnya memiliki album-album grup rock tanah air maupun dunia. Di ruang kerjanya yang berukuran 4x4 meter itu, dia menyimpan sekitar 1.800 album rekaman dari beragam musisi rock dalam bentuk CD, VCD, dan DVD. Sebut misalnya grup musik legendaris yang kondang di era 70an, seperti Led Zeppelin, KISS, Judas Priest, Steve Vai, Helloween, Jimmy Hendrix, dan Iron Maiden, serta Bee Gees.
Selain itu masih ada nama-nama besar musisi rock lain seperti Ozzy Osborne, Alice Cooper, dan Iced Earth. Dodon juga punya album rekaman Manowar yang dalam setiap pementasannya selalu penuh sensasi dengan menelanjangani penggemar-penggemar wanitanya di stage.
Dodon tak hanya mania musik rock barat. Karena dia juga memiliki koleksi tembang-tembang yang dibawakan musisi lokal macam God Bless, Dewa 19, Power Metal, atau pun Slank. Album-album tersebut kebanyakan dalam bentuk DVD, selain juga ada kemasan CD dan VCD. “Karena mereka hadir di saat saya masih kecil atau bahkan belum lahir, maka saya juga ingin menikmati aksi panggung mereka,” ungkapnya.
Koleksi-koleksi berharga itu disimpan rapi dalam 10 tower box, dan masing-masing tower box berisi 132 buah CD. Itu belum termasuk yang disimpan di lemari khusus bersama masing-masing merchandisenya.
Perburuan Dodon lebih sering dilakukan di negeri jiran macam Singapura dan Malaysia. Tapi tak jarang juga sampai ke toko-toko yang menyediakan album khusus di Amerika dan sejumlah Negara di Eropa. "Album The Beatles yang jumlahnya sampai 15 seri saya dapat di Belanda dan saya beli seharga Rp 3,6 juta," papar Dodon sambil menambahkan album musik rock itu mulai dikoleksi sejak tahun 1983. *

Band Mancanegara Lebih Kreatif

Menurut Dodon, album musik rock mancanegara dan lokal memiliki perbedaan cukup mencolok. "Musisi kita tak melengkapi diri dengan katalog dalam albumnya. Ini sebetulnya sangat disayangkan lantaran masyarakat –khususnya generasi muda—tak bisa mengikuti perkembangan grup musik tersebut," tutur Dodon.
Penulisan katalog yang disisipkan dalam album, menurut Dodon, juga bisa membuktikan pada penikmat musik, bahwa Indonesia juga memiliki kelompok musik yang tak kalah bagusnya dibanding musisi rock barat. "Contohnya SAS, itu kan sempat dikenal luas publik penggemar musik rock di Australia," ujar vokalis Rhesi ini.
Adalah Ebet Kadaruslan yang waktu itu menjadi penyiar di sebuah stasiun radio di Negeri Kanguru itu yang mempopulerkan tembang-tembang ciptaan SAS. Karena tak dilengkapi literatur, kebesaran nama SAS akhirnya pudar dan hilang bak ditelan bumi.
"Sebenarnya kita punya grup musik rock yang cukup bagus. Selain SAS, juga ada AKA atau Duo Kribo. Tapi kemana mereka sekarang? Generasi muda sekarang nggak bisa tahu riwayat mereka karena nggak ada data yang memadai," cetus Dodon yang mengaku mulai menggemari musik rock sejak duduk di kelas 2 SMP.
Ini tentu beda dengan grup musik mancanegara yang selalu menyertakan katalog di album mereka. Bahkan di album yang masuk kategori special edition, mereka juga sertakan merchandise yang menjadi ciri khas grup musik tersebut. Merchandise itu bisa dalam bentuk sosok personel grup band itu yang diwujudkan boneka-boneka menarik atau bendera yang dikemas dalam bungkus menarik. Yang cukup sensasional, grup musik Slayer menyertakan sample darah personelnya di box shed. Sample darah itu disimpan dalam kantong plastik yang juga diisi sebuah CD lagu kelompok musik asal Amrik ini. Selain itu, yang terbaru adalah komik tiga dimensi yang melengkapi album Ramones, grup rock asal Amerika yang disebut cikal bakal SKA. “Jadi untuk melihat dengan baik, maka perlu kacamata khusus, sehingga adegan di komik itu seakan hidup. Saya bener-bener kagum ide-ide grup band ini bikin souvenir menarik untuk penggemarnya,” katanya. [SURYA, edisi Februari 2007]

Rottweiler, si Lambang Kejantanan!



Anjing –seperti juga kuda—bagi Singky Soewadji bisa jadi lambang kejantanan. Bentuknya yang sangar didukung tubuh yang kokoh bisa membuat bangga si empunya dan sekaligus merasa nyaman berada di dekatnya.
Dengan alasan itu pula, Singky yang semula penggemar doberman ini lalu mengalihkan perhatian pada jenis rottweiler. Sebab, menurut Singky, postur tubuh doberman kini cenderung jadi langsing.
“Doberman sekarang memang tidak lagi gagah seperti 10 tahun lalu,” tutur mantan Sekretaris Umum DPD Granat Jatim ini ketika disambangi di rumahnya di Perum Sutorejo Prima Indah Utara, Surabaya beberapa waktu lalu.

Apalagi, menurut Singky, memelihara doberman cukup repot dengan rutinitas potong telinga agar bentuknya terlihat berdiri dan bagus. Maka sejak tiga tahun lalu, Singky memutuskan beralih ke rottweiler.

Dari awalnya hanya memiliki seekor – itu pun diakui diberi temannya, Hermanto Gunawan, yang dikenal sebagai tokoh rottweiler—kini Singky memelihara 10 ekor rottweiler.
Rottweiler kedua yang dimilikinya, didatangkan langsung dari Yugoslavia. Anjing bernama Mo von Backerhaus itu adalah keturunan Jchyu Bronko od Dragicevica yang terkenal sebagai juara dunia. Koleksinya yang lain bernama Blondella od Vadanova. Rottweiler asal Kroasia berumur lima tahun ini adalah peraih terbaik Siegerin 2005.
Setelah itu, koleksi Singky jenis rottweiler peranakan lokal dan jumlahnya sempat sampai 15 ekor. Namun, yang pertumbuhannya dinilai kurang baik lalu diberikan ke orang lain, dan kini tinggal 10 ekor yang secara rutin diikutkan dalam beberapa kegiatan pameran dan kejuaraan.
Memelihara rottweiler ternyata tidak sulit karena anjing trah Jerman ini cenderung tidak rewel. Untuk makanan sehari-hari, biasa diberi dogfood plus vitamin kalsium yang dikirim adiknya dari Australia. Vitamin yang baik ini adalah jenis makanan yang juga biasa diberikan untuk anjing greyhound. “Ini bisa membentuk stamina jadi lebih bagus,” ujar Singky yang kini menjabat Penasehat DPD Granat Jatim.
Untuk makanan rottweiler tersebut, setiap bulan, Singky mengeluarkan biaya sekitar Rp 500.000/ekor. Jika perlu vitamin tambahan tentu biayanya bisa lebih besar.
Agar tidak terkesan terlalu garang, Singky membiasakan peliharaannya bersosialisasi dengan keluarga dan lingkungan tetangganya. Dalam sehari, rottweiler tersebut dilepas bebas berkeliaran. Kesempatan itu juga untuk memberi kesempatan hewan-hewan tersebut buang hajat.
“Saya memang tak membiasakan mereka buang hajat di dalam rumah. Karena itu, setiap pagi, sore, dan malam mereka saya lepas dan biasanya mereka lalu buang hajat di tanah kosong dekat rumah,” papar sulung dari tiga bersaudara ini.
Ketika para rottweiler ini menikmati kesempatan jalan-jalan, kandangnya disapu dan disemprot dengan karbol. Sehingga begitu mereka kembali, kandang sudah dalam keadaan bersih.
Untuk membentuk stamina, rottweiler itu tak dibiarkan lepas begitu saja. Mereka dilatih lari yang disesuaikan dengan umur masing-masing. Untuk yang masih anakan, jarak tempuh larinya 1 km, dan ketika remaja ditingkatkan jadi 2 km. Ketika menghadapi even pameran, porsi latihan ditingkatkan sampai dua kali lipat saat pagi dan malam hari.
Selain itu untuk menanamkan kewaspadaan serta membentuk tubuh yang kokoh, mereka juga dilatih dengan bola kecil dan bola basket. “Jika terbiasa waspada, cara mereka berdiri juga terbentuk gagah,” beber Singky yang lahir di Surabaya, 8 Mei 1960.
Kegiatan latihan bersama rottweiler tersebut sering dilakukan bersama Daniel Sean Auky Soewadji. Anak semata wayangnya itu meski baru berusia lima tahun sama sekali tak takut berdekatan dengan rottweiller yang postur tubuhnya jauh lebih besar.
Bahkan saat gelar Pameran Anjing Trah All Breed yang digelar Perkin Jatim Asia Kennel Union tanggal 21-22 April lalu, Daniel turut mengantar peliharaannya yang diberi nama Al Pacino von Dutch. Hasilnya, rottweiler berusia 3,5 bulan itu berhasil meraih predikat Juara 1. *

Anjing pun Punya Akta Lahir

Ternyata bukan cuma manusia yang perlu akta lahir. Rottweiler pun memiliki data kelahiran serta trah keluarga yang tercatat di Perkin (Persatuan Kinologi Indonesia).
Pendataan rottweiler di Perkin, menurut Singky, dilakukan sejak pasangan anjing ini kawin. Dan ketika anaknya lahir, kembali dilaporkan. Selanjutnya, waktu anak rottweiler menginjak umur 1,5-2 bulan ditato ditelinga untuk diberi nomer.
Nama pada anjing ini diberikan berdasar “nama kandang” pemiliknya. Singky sendiri memiliki dua nama kandang. Untuk jenis rottweiler dia menggunakan von Dutch. Sedang untuk trah lain Pengurus PKBSI (perkumpulan Kebun Binatang Seluruh Indonesia) ini memakai Ayuningrat.
“Saya juga punya ternakan golden retriever. Saat ini jumlahnya baru lima, sepasang golden retriever yang lalu beranak tiga ekor,” ungkap suami Lucky Anie Paat Soewadji yang juga member of WWF (World Wildlife Foundation) ini.
Rottweiler memang bukan jenis anjing biasa. Anjing yang kini banyak peminatnya ini memiliki harga jual lumayan tinggi. Untuk anakan dengan umur 1-2 bulan misalnya, harganya mencapai minimal Rp 2,5 juta. Jika sudah dewasa, betina rottweiler mampu melahirkan 6-12 ekor anak. Dan dalam setahun seekor rottweiler bisa dua kali beranak. “Jadi kalau saya punya 10 ekor betina dan beranak –katakanlah—60 ekor, maka dalam setahun jadi 120 ekor. Anggap saja 20 ekor mati jadi tinggal 100 ekor maka dalam setahun jika anakan rottweiler ini saya jual saya bisa memperoleh Rp 250 juta!” papar mantan atlet dan pelatih nasional olahraga berkuda ini berkalkulasi. [SURYA, edisi April 2007]

09 Januari 2008

PARTY....and party again!






Hiburan menjadi pilihan wajib masyarakat kota besar ketika mereka hendak melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan yang dihadapi tiap hari mulai pagi hingga sore atau menjelang petang. Tak heran jika sejumlah tempat hiburan selalu dipenuhi clubbers, khususnya di akhir pekan.
Di tengah menjamurnya tempat hiburan di Surabaya belakangan, yang mampu menyajikan pentas menarik lah yang jadi pilihan masyarakat, khususnya para eksekutif ini. Tak hanya kemasan musik, tapi juga atraksi penunjang yang dirancang manajemen tempat hiburan tersebut.
“Biasanya tiap dua bulan sekali kami menggelar tematic event,” papar Andi Nia, Communication Executive Shangri-La Hotel. Ide tema-tema acara itu, lanjut wanita yang akrab disapa Nia ini, biasanya datang dari Direktur F&B yang membawahi outlet dan restoran di bawah hotel bintang lima itu.
Aplikasinya, digeber di Desperados, tempat hiburan di lantai dasar Shangri-La Hotel yang selalu menyajikan hiburan live music band dari mancanegara. Yang paling gres, menjelang tahun baru lalu Shangri-La mengemas acara Chicago 1930. Selain musik yang disajikan beraroma rock, jazz, dan blues, interior Desperados pun ditata spesifik dengan dominasi warna hitam putih.
Untuk mendukung tema, staf Desperados mengenakan kostum ala Godfather. “Yang lama biasanya menyiapkan konsepnya. Bisa sebulan sendiri sebelum akhirnya diaplikasikan. Karena itu, agar acara yang kami suguhkan benar-benar sempurna, tematic event kami agendakan setiap dua bulan,” paparnya.
The Tavern Bar yang ada di lantai dasar Hyatt Regency Surabaya bisa jadi lebih spesifik dalam mempersiapkan tematic event. Hotel bintang lima di pusat kota ini malah membagi dalam dua pentas besar, yaitu VIP Stage, dan Night of Legend.
Khusus untuk VIP Stage yang dijadwalkan empat kali dalam setahun, difokuskan untuk menyajikan pentas berkualitas. Selain menghadirkan bintang tamu dari Jakarta, pentas VIP Stage biasanya didukung dengan tata dekorasi yang ‘wah’ sesuai tamu yang bakal hadir di acara spesial tersebut.
“Acara yang pernah kami adakan untuk VIP Stage ini misalnya ketika kami mendatangkan bintang tamu, Samsons, Ungu, dan Tompi ketika mereka belum begitu terkenal seperti sekarang,” Prima Soemarso, Public Relation Hyatt Regency Surabaya.
Sedang Night of Legend, lanjut Prima, cenderung lebih mengutamakan kemasan musik yang nantinya dinikmati clubbers. Di pentas ini, kostum yang dikenakan personel band maupun staf outlet sangat dominan mendukung tema yang tengah diangkat.
“Untuk Tribute to Queen misalnya. Kami menekankan pada personel musik agar berdandan ala Queen. Lagu-lagu yang mereka bawakan malam itu juga khusus lagu-lagu yang selama ini dibawakan grup musik legendaris itu,” katanya. Ditambahkan, interior The Tavern Bar juga disetting sesuai tema yang disuguhkan malam itu. Kostum, tak pelak menjadi urusan yang bisa jadi ribet ketika tematic event ini coba ditawarkan pada clubbers. Namun, jerih payah ini berbuah kepuasan ketika sang tamu justru merespon dengan antusias. Dress code yang disyaratkan bagi para tamu disambut dengan hadirnya pengunjung dengan beragam dandanan menarik. So, party pun kian heboh dan meriah. *

06 Januari 2008

Dance All Night Long






Party tanpa goyang, bak sayur tanpa garam. Dan ke kafe yang identik dengan party pasti tak lepas dari goyangan. Entah goyang kaki pelan-pelan, tangan mengetuk meja mengiringi irama-irama yang disajikan musisi di panggung.
Jika atmosfer mulai memanas, pasti tak puas hanya sekadar duduk. Bergeser ke dance floor, gerakan pelan kaki dan tangan mulai meningkat. Penetrasi gerakan ini menular ke seluruh anggota tubuh, seakan kegatalan. Pinggul ikutan bergoyang. Seakan ingin mengimbangi, maka kedua tangan di angkat melambai-lambai ke atas ditingkah beat-beat nada yang juga kian kencang.
Hugo’s Cafe bisa jadi adalah kafe yang mengawali ‘tradisi’ staff perform tersebut. Tempat hiburan yang kini menggurita di sejumlah kota seperti Malang, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Pekanbaru, dan Makasar ini bahkan memiliki ‘lagu kebangsaan’ bagi stafnya.
Black Legend, begitu komposisi ini dimainkan disc jockey (DJ), otomatis seluruh staf meninggalkan tugasnya masing-masing dan menempati stage atau bar counter. Sekitar sepuluh menit mereka menggugah semangat clubbers untuk larut dalam crowd.
“Dari awal Hugo’s memang sudah punya kebiasaan seperti itu. Kebijakan manajemen memang memberi kesempatan seluruh staf agar menyalurkan kebebasan berekspresi tanpa dibebani rasa malu,” tutur Dyah Restanty yang mengawali karier sebagai kasir, server, dan kini HRD Hugo’s Café Surabaya.
Party sambil kerja mungkin terdengar aneh, dan bukan sebaliknya. Tapi itu pula yang kini marak di sejumlah kafe seperti Colors Pub & Restaurant, Van Java, dan Vertical Six. Kebiasaan ini bahkan juga ditiru mentah-mentah oleh sebuah kafe tradisional yang setiap hari menyuguhkan kemasan musik dangdut.
Meski staff perform diakui manjur bisa menggiring clubbers larut dalam gemuruh party, toh tak semua kafe menetapkan waktu tertentu seperti yang dilakukan Hugo’s Café. “Staff perform dilakukan hanya kalau tamu sedang drop,” ujar Erick, Manajer Marketing Van Java.
Tapi, kalau suasana sudah crowd sejak awal, maka trik itu baru dilakukan. “Jadi sifatnya dadakan. Kalau suasana sedang rame-ramenya kita bikin staff perform kan tamunya malah kecewa juga ditinggalin dan ordernya tidak segera dipenuhi,” bebernya.
Dari sisi profit, bisa jadi staff perform di waktu-waktu tertentu juga tidak efektif dan hanya membuang peluang untuk mendapatkan income dari tamu yang order F&B. Namun, ketika dibutuhkan, seluruh staff operation yang sedang ada di venue otomatis beraksi bersama. “Staff perform memang sekadar variasi aja biar nggak monoton. Biar ada sesuatu yang lain selain pemain band, DJ, atau fashion dance misalnya. Jadi di saat diperlukan staf ikut gabung bikin perform menarik menggiring tamu bikin crowd,” ungkap Erick. *