Party tanpa goyang, bak sayur tanpa garam. Dan ke kafe yang identik dengan party pasti tak lepas dari goyangan. Entah goyang kaki pelan-pelan, tangan mengetuk meja mengiringi irama-irama yang disajikan musisi di panggung.
Jika atmosfer mulai memanas, pasti tak puas hanya sekadar duduk. Bergeser ke dance floor, gerakan pelan kaki dan tangan mulai meningkat. Penetrasi gerakan ini menular ke seluruh anggota tubuh, seakan kegatalan. Pinggul ikutan bergoyang. Seakan ingin mengimbangi, maka kedua tangan di angkat melambai-lambai ke atas ditingkah beat-beat nada yang juga kian kencang.
Hugo’s Cafe bisa jadi adalah kafe yang mengawali ‘tradisi’ staff perform tersebut. Tempat hiburan yang kini menggurita di sejumlah kota seperti Malang, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Pekanbaru, dan Makasar ini bahkan memiliki ‘lagu kebangsaan’ bagi stafnya.
Black Legend, begitu komposisi ini dimainkan disc jockey (DJ), otomatis seluruh staf meninggalkan tugasnya masing-masing dan menempati stage atau bar counter. Sekitar sepuluh menit mereka menggugah semangat clubbers untuk larut dalam crowd.
“Dari awal Hugo’s memang sudah punya kebiasaan seperti itu. Kebijakan manajemen memang memberi kesempatan seluruh staf agar menyalurkan kebebasan berekspresi tanpa dibebani rasa malu,” tutur Dyah Restanty yang mengawali karier sebagai kasir, server, dan kini HRD Hugo’s Café Surabaya.
Party sambil kerja mungkin terdengar aneh, dan bukan sebaliknya. Tapi itu pula yang kini marak di sejumlah kafe seperti Colors Pub & Restaurant, Van Java, dan Vertical Six. Kebiasaan ini bahkan juga ditiru mentah-mentah oleh sebuah kafe tradisional yang setiap hari menyuguhkan kemasan musik dangdut.
Meski staff perform diakui manjur bisa menggiring clubbers larut dalam gemuruh party, toh tak semua kafe menetapkan waktu tertentu seperti yang dilakukan Hugo’s Café. “Staff perform dilakukan hanya kalau tamu sedang drop,” ujar Erick, Manajer Marketing Van Java.
Tapi, kalau suasana sudah crowd sejak awal, maka trik itu baru dilakukan. “Jadi sifatnya dadakan. Kalau suasana sedang rame-ramenya kita bikin staff perform kan tamunya malah kecewa juga ditinggalin dan ordernya tidak segera dipenuhi,” bebernya.
Dari sisi profit, bisa jadi staff perform di waktu-waktu tertentu juga tidak efektif dan hanya membuang peluang untuk mendapatkan income dari tamu yang order F&B. Namun, ketika dibutuhkan, seluruh staff operation yang sedang ada di venue otomatis beraksi bersama. “Staff perform memang sekadar variasi aja biar nggak monoton. Biar ada sesuatu yang lain selain pemain band, DJ, atau fashion dance misalnya. Jadi di saat diperlukan staf ikut gabung bikin perform menarik menggiring tamu bikin crowd,” ungkap Erick. *
Jika atmosfer mulai memanas, pasti tak puas hanya sekadar duduk. Bergeser ke dance floor, gerakan pelan kaki dan tangan mulai meningkat. Penetrasi gerakan ini menular ke seluruh anggota tubuh, seakan kegatalan. Pinggul ikutan bergoyang. Seakan ingin mengimbangi, maka kedua tangan di angkat melambai-lambai ke atas ditingkah beat-beat nada yang juga kian kencang.
Hugo’s Cafe bisa jadi adalah kafe yang mengawali ‘tradisi’ staff perform tersebut. Tempat hiburan yang kini menggurita di sejumlah kota seperti Malang, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Pekanbaru, dan Makasar ini bahkan memiliki ‘lagu kebangsaan’ bagi stafnya.
Black Legend, begitu komposisi ini dimainkan disc jockey (DJ), otomatis seluruh staf meninggalkan tugasnya masing-masing dan menempati stage atau bar counter. Sekitar sepuluh menit mereka menggugah semangat clubbers untuk larut dalam crowd.
“Dari awal Hugo’s memang sudah punya kebiasaan seperti itu. Kebijakan manajemen memang memberi kesempatan seluruh staf agar menyalurkan kebebasan berekspresi tanpa dibebani rasa malu,” tutur Dyah Restanty yang mengawali karier sebagai kasir, server, dan kini HRD Hugo’s Café Surabaya.
Party sambil kerja mungkin terdengar aneh, dan bukan sebaliknya. Tapi itu pula yang kini marak di sejumlah kafe seperti Colors Pub & Restaurant, Van Java, dan Vertical Six. Kebiasaan ini bahkan juga ditiru mentah-mentah oleh sebuah kafe tradisional yang setiap hari menyuguhkan kemasan musik dangdut.
Meski staff perform diakui manjur bisa menggiring clubbers larut dalam gemuruh party, toh tak semua kafe menetapkan waktu tertentu seperti yang dilakukan Hugo’s Café. “Staff perform dilakukan hanya kalau tamu sedang drop,” ujar Erick, Manajer Marketing Van Java.
Tapi, kalau suasana sudah crowd sejak awal, maka trik itu baru dilakukan. “Jadi sifatnya dadakan. Kalau suasana sedang rame-ramenya kita bikin staff perform kan tamunya malah kecewa juga ditinggalin dan ordernya tidak segera dipenuhi,” bebernya.
Dari sisi profit, bisa jadi staff perform di waktu-waktu tertentu juga tidak efektif dan hanya membuang peluang untuk mendapatkan income dari tamu yang order F&B. Namun, ketika dibutuhkan, seluruh staff operation yang sedang ada di venue otomatis beraksi bersama. “Staff perform memang sekadar variasi aja biar nggak monoton. Biar ada sesuatu yang lain selain pemain band, DJ, atau fashion dance misalnya. Jadi di saat diperlukan staf ikut gabung bikin perform menarik menggiring tamu bikin crowd,” ungkap Erick. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar