19 Januari 2008

Jumping @ Rusun Urip (3)


Masih di hari keenam bulan Juni 2007....[pukul 3 lebih 20an menit]
Untungnya, adikku kemudian datang. Dia segera memberesi administrasi untuk pendaftaran UGD dan juga untuk keperluan rontgen. Begitu lunas, petugas UGD dengan sigap langsung mendorong tempat tidurku menuju ruang rontgen.
Saat itu kulihat beberapa teman kantor juga sudah mulai berdatangan. Ada Koko, Pak Ruru, Pak Hari (bagian PSDM), Ravi, dan beberapa lagi yang tak sempat kuingat. Mereka mengantar sampai depan pintu ruang rontgen.
[Hari itu rupanya jadi ‘Hari Naas’ buat kantorku. Sebab, ternyata selain aku masih menyusul beberapa karyawan mendapat musibah juga. Pak Hari yang buru-buru menyusulku ke RS Adi Husada kendaraannya selip tak jauh dari lokasi rumah sakit. Yang lainnya, ada karyawan baru di bagian lay out terkena jeratan benang layang-layang sehingga menderita luka serius.
Sehari sebelum kecelakaan yang menimpaku, Dwi Pramesti, juga mendapat kecelakaan di Jl Jemursari sehingga harus dirawat di rumah sakit. Meski tak sampai harus pasang pen seperti aku, cewek seksi yang biasa disapa Ame ini malah menjalani perawatan lebih lama dariku. Karena ketika aku sudah masuk kantor, Ame masih belum kelihatan.]
Sekitar lima menit kemudian aku didorong kembali ke ruang UGD. Saat itu kulihat dua orang petugas kepolisian yang katanya dari Polwiltabes Surabaya melengkapi catatan mereka terkait kecelakaan yang menimpaku. Sambil meminta data ke petugas UGD, petugas yang aku lupa pangkat dana namanya itu bercerita bahwa kasus yang menimpaku bukan yang pertama kali.
Sebelumnya juga terjadi kecelakaan yang sama, seorang pengendara sepeda motor jatuh gara-gara kena sodok ‘bola liar’ yang dimainkan anak-anak kampung Urip Sumoharjo di kawasan rusun itu. “Sampean masih untung, Mas. Yang dulu itu korbannya meninggal karena kepalanya terbentur trotoar!” beber sang petugas kepadaku yang cuma bisa mengangguk-angguk.
Dalam benakku lalu terbersit pertanyaan, kalau memang ini bukan yang pertama, dan bahkan sudah menimbulkan korban nyawa, kenapa masih berulang? Kenapa tidak ada teguran ke masyarakat setempat, khususnya para remaja agar tidak main bola sembarangan sehingga merugikan orang lain.
Ah, aku baru ingat kalau nyawa manusia di negara ini memang sangat, sangat murah. Atau bahkan sama sekali tak berharga. Apalah arti nyawa seorang Marsinah, sehingga kasusnya hingga kini tak pernah jelas benar seperti apa. Nasib yang tak jauh berbeda dialami Mbak Suci yang hingga kini juga masih ‘keronto-ronto’ memperjuangkan penyelesaian misteri kematian sang suami, Munir.
Wah, kenapa sampai jauh ke soal Marsinah dan Munir. Apa pula yang bakal terjadi jika tadi –misalnya—aku tak terselamatkan, dan –masya Allah—meninggal ! Bagaimana dengan keluargaku ? Apakah dapat perhatian yang memadai dari kantorku ? Atau sekadar ucapan bela sungkawa ?!
Aku mendadak tersadar dari lamunan, ketika petugas rontgen datang membawa hasil foto tubuh bagian dalam diriku. Begitu ditempel di monitor, terlihat jelas di bagian kiri atas ada tulang yang kalau utuh panjangnya sekitar 10 cm. Tulang yang dalam istilah medis disebut clavicula itu patah di bagian tengah dengan menimbulkan sepihan kecil.
Keputusannya aku harus menjalani operasi penyambungan tulang tersebut. Masalahnya dimana? Kalau harus dilakukan di rumah sakit itu, berarti keluargaku harus bolak-balik Surabaya-Sidoarjo.
Dengan pertimbangan operasi pasti memakan waktu lama, dan untuk memudahkan keluargaku nanti jika menjengukku maka aku minta dirujuk ke rumah sakit di Sidoarjo! [to be continued]

16 Januari 2008

Jumping @ Rusun Urip (2)


Masih di hari keenam bulan Juni 2007....[waktunya lebih 10 menit dari saat petaka depan rusun Urip Sumoharjo terjadi]
Petaka tak pernah diduga kapan datangnya. Musibah juga tak kan pernah diketahui seperti apa wujudnya. Tapi begitu tragedi itu menimpa, kepasrahan kita pada-Nya diuji. Bukannya malah mengumpat dan mencari kambing hitam!
Aku malah merasa beruntung –seperti kata banyak orang Jawa, tetap merasa beruntung di tengah musibah yang menimpa. Allah, seakan menempatkan ‘seseorang’ untuk mendampingiku menghadapi petaka tersebut. Aku tak kan melupakan namanya: Syukur.
Laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang tambal ban di kawasan rusun Urip Sumoharjo. Dan belakangan kuketahui dia juga tinggal di rumah susun itu.
Pria itu dengan sigap menghentikan taksi yang lewat dan minta mengantarku ke rumah sakit. Dibantu beberapa orang yang masih berkerumun di situ, aku diangkat –sebuah usaha yang tidak mudah karena aku sendiri sulit menggerakkan tubuhku dengan baik—masuk ke bagian belakang taksi.
Aku masih ingat, tas ranselku nyaris tertinggal. Dengan bantuan pak Syukur, tas itu ikut masuk dalam mobil. Soal motor aku pasrahkan pada masyarakat setempat yang moga-moga bersedia menyimpannya untukku.
“Helm dan sepatunya simpan saja di tempatku!” pesan pak Syukur pada seseorang. Berikutnya, dia duduk di kursi depan di samping sopir taksi yang lalu menggerakkan kendaraannya menembus kerumunan manusia.
“Kemana ini?” tanya sopir taksi.
Spontan pak Syukur mengusulkan agar taksi menuju Rumah Sakit Adi Husada di Jl Undaan. “Kalau ke dr Soetomo penanganannya pasti lama!” komentar pak Syukur sambil menoleh ke belakang seakan minta persetujuanku. Aku pasrah saja.
Sambil terus istighfar tiada henti, aku meraih pesawat handphone. Mencari nomer, lalu mencoba menghubungi adik-adikku. Berikutnya aku pencet nomer Koko, teman kantorku. Aku beritahu secara singkat peristiwa yang baru aku alami, dan sekaligus memberitahu aku dalam perjalanan ke RS Adi Husada.
Begitu sampai di UGD RS Adi Husada, seorang perawat mencoba melihat kondisiku. Dan sesaat kemudian, dia sudah memastikan kondisi yang aku alami. Dengan bantuannya, aku dipapah keluar taksi dan dinaikkan tempat tidur dorong. Ketika bergerak menuju ruang periksa di UGD, aku baru sadar sopir taksi masih belum bergeser.
“Kasih ongkos seadanya, Pak” usul pak Syukur.
Aku mengambil dompet dengan susah payah di saku belakang celana. Untunglah, masih ada beberapa lembar ribuan dan selembar dua puluh ribu. Aku ambil recehan 20.000 dan aku sodorkan ke sopir taksi yang disambut dengan ucapan terima kasih lalu balik ke mobilnya.
Di ruang UGD, seorang perawat kembali memeriksa tubuhku. Tak berapa lama, dokter jaga meminta aku untuk dirontgen. Permintaan yang ternyata tak bisa segera terpenuhi. Alasannya, untuk bisa rontgen aku terlebih dulu harus membayar beaya administrasi sebesar Rp 80.000!
“Bea registrasi UGD bisa nanti, tapi untuk rontgen harus lunas dulu!” tegas petugas UGD.
Aku mulai bingung. Karena di dompetku tinggal recehan ribuan yang jumlahnya aku yakin tak sampai 10 lembar. Dan aku tentu tidak mungkin melibatkan pak Syukur untuk urusan beaya rontgen. Dia sudah cukup direpotkan dengan mendampingi aku sampai di UGD dan tidak meninggalkanku begitu saja. Aku kembali menghubungi pesawat handphone adikku, dan ternyata dia masih dalam perjalanan dari kantornya.
Aku lagi-lagi pasrah. Beberapa saat tergolek di ruangan serba putih itu tanpa disentuh apa-apa lagi. [Bahkan luka lecet di kaki kiri dan telinga kiri baru dibersihkan setelah adikku datang dan meminta luka itu ditangani.]
Urusan penanganan korban kecelakaan ternyata bisa jadi rumit jika tidak mempunyai uang! Kini aku benar-benar merasakan arti kelakar teman-temanku : jangan sakit kalau nggak punya duit!
Kalau yang macam aku saja diragukan untuk bisa memenuhi pembayaran bea pengobatan, bagaimana orang yang benar-benar tidak mampu ya? [to be continued]

12 Januari 2008

Jumping @ Rusun Urip (1)


6 JUNI 2007…….
Hari itu, RABU, pukul –sekitar— dua’an siang, dalam perjalanan liputan ke Club Deluxe.
Kecepatan kendaraan [Honda Kirana] seperti biasa. Standar, 50-60an km/jam. Tidak terlalu kencang karena arus lalu lintas di Jl Urip Sumoharjo saat itu cukup padat. Seperti biasanya.
Tepat di depan rusun, mendadak terlihat sepeda motor di depanku –aku masih cukup ingat dinaiki seorang pria—mendadak terjatuh. Untuk menghindari tabrakan, otomatis aku menginjak rem secepatnya.
“Alhamdulillah, beruntung aku masih bisa menghentikan kendaraan sehingga tidak sampai menabrak sepeda motor di depanku.” Itulah yang ada di benakku ketika aku merasakan laju sepeda motorku berhenti sekitar dua meter di belakang sepeda motor yang jatuh gara-gara pengendaranya kena ‘bola liar’ dari arah rusun Urip Sumoharjo.
Keberuntungan yang ternyata tidak 100 % sempurna. Pasalnya, sepersekian detik kemudian –sebagai efek kendaraan yang berhenti mendadak—tubuhku melenting. Tubuhku melesat dari motor dengan gaya yang tidak pernah aku ingat seperti apa.
Yang kutahu, saat berikutnya tubuhku sudah terkapar di atas trotoar sambil bibir terucap kata,”Ya Allah!” berulang-ulang. Tubuhku jadi perhatian banyak orang. Belasan orang mengerubuti, mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada diriku. ‘Oo, jik orip! Selamet!’ seru seseorang. "Istighfar, Nak! Ayo Istighfar!" ujar seorang pria tengah baya.
Seseorang yang lain berusaha melepas sepatu dari kakiku. Dalam ketidakberdayaanku, upaya –yang aku anggap sebagai pertolongan—itu aku biarkan. Helm yang semula lengket di kepala entah sudah melesat kemana. Namun, tas punggung masih menempel dan sekaligus sebagai tumpuan punggung saat aku jatuh.
Sambil mengikuti ajakan membaca istighfar, aku mencoba menggerakkan anggota badanku. Mulai dari jari kaki. Jari-jari di kedua kaki berfungsi baik. Aman. Lalu ganti jari tanganku. Juga begitu. Aman juga. Sambil menggerakkan jari tangan, aku memeriksa pesawat handphone yang menempel di tubuh. Semua masih ada di tempat masing-masing. Alhamdulillah, aman. Tapi begitu aku mencoba berdiri, ‘Ya Allah!’ Aku terkapar lagi! Ada yang tidak beres di bagian pundak kiri sehingga aku tak mampu berdiri. [to be continued]

Menyimak Sejarah Musik Lewat Kepingan CD

“Saya baru dapat lagi, Mas. Sepuluh CD ini kiriman teman dari Belanda. Harganya Rp 110.000/keping, kalau di toko bisa sampai Rp 150.000an/keping,” ujar Dodon dengan nada bangga saat ditemui di rumahnya di kawasan Perak, Surabaya.
Pria bertubuh tambun ini lalu sibuk membuka tower box di salah satu sudut ruang kerjanya, lalu ditunjukkannya 10 koleksi barunya tersebut. Tak cuma itu. Dodon juga menunjukkan sejumlah koleksi terbarunya macam album AKA, SAS, Grass Rock, dan (alm) Andy Liany. “Saya masih memburu album The Gembels dan The Hands. Seperti juga AKA dan SAS, mereka ini grup muncul saat saya sendiri belum lahir. Jadi (koleksi ini) tentu bakal jadi memori jika nanti mereka sudah tak ada lagi,” ujar pemilik nama Kartika Asianto Undoyoko ini.
Pesona musik memang luar biasa. Komposisi yang menggabungkan antara lirik dan irama ini tak hanya menghasilkan sebuah tembang yang nikmat untuk didengar. Keindahan musik juga bisa membius seseorang sehingga rela melakukan perburuan dalam jarak yang tak terbatas, serta menghabiskan dana yang tak terbayangkan jumlahnya.
Itulah yang dilakoni Dodon untuk memenuhi hasratnya memiliki album-album grup rock tanah air maupun dunia. Di ruang kerjanya yang berukuran 4x4 meter itu, dia menyimpan sekitar 1.800 album rekaman dari beragam musisi rock dalam bentuk CD, VCD, dan DVD. Sebut misalnya grup musik legendaris yang kondang di era 70an, seperti Led Zeppelin, KISS, Judas Priest, Steve Vai, Helloween, Jimmy Hendrix, dan Iron Maiden, serta Bee Gees.
Selain itu masih ada nama-nama besar musisi rock lain seperti Ozzy Osborne, Alice Cooper, dan Iced Earth. Dodon juga punya album rekaman Manowar yang dalam setiap pementasannya selalu penuh sensasi dengan menelanjangani penggemar-penggemar wanitanya di stage.
Dodon tak hanya mania musik rock barat. Karena dia juga memiliki koleksi tembang-tembang yang dibawakan musisi lokal macam God Bless, Dewa 19, Power Metal, atau pun Slank. Album-album tersebut kebanyakan dalam bentuk DVD, selain juga ada kemasan CD dan VCD. “Karena mereka hadir di saat saya masih kecil atau bahkan belum lahir, maka saya juga ingin menikmati aksi panggung mereka,” ungkapnya.
Koleksi-koleksi berharga itu disimpan rapi dalam 10 tower box, dan masing-masing tower box berisi 132 buah CD. Itu belum termasuk yang disimpan di lemari khusus bersama masing-masing merchandisenya.
Perburuan Dodon lebih sering dilakukan di negeri jiran macam Singapura dan Malaysia. Tapi tak jarang juga sampai ke toko-toko yang menyediakan album khusus di Amerika dan sejumlah Negara di Eropa. "Album The Beatles yang jumlahnya sampai 15 seri saya dapat di Belanda dan saya beli seharga Rp 3,6 juta," papar Dodon sambil menambahkan album musik rock itu mulai dikoleksi sejak tahun 1983. *

Band Mancanegara Lebih Kreatif

Menurut Dodon, album musik rock mancanegara dan lokal memiliki perbedaan cukup mencolok. "Musisi kita tak melengkapi diri dengan katalog dalam albumnya. Ini sebetulnya sangat disayangkan lantaran masyarakat –khususnya generasi muda—tak bisa mengikuti perkembangan grup musik tersebut," tutur Dodon.
Penulisan katalog yang disisipkan dalam album, menurut Dodon, juga bisa membuktikan pada penikmat musik, bahwa Indonesia juga memiliki kelompok musik yang tak kalah bagusnya dibanding musisi rock barat. "Contohnya SAS, itu kan sempat dikenal luas publik penggemar musik rock di Australia," ujar vokalis Rhesi ini.
Adalah Ebet Kadaruslan yang waktu itu menjadi penyiar di sebuah stasiun radio di Negeri Kanguru itu yang mempopulerkan tembang-tembang ciptaan SAS. Karena tak dilengkapi literatur, kebesaran nama SAS akhirnya pudar dan hilang bak ditelan bumi.
"Sebenarnya kita punya grup musik rock yang cukup bagus. Selain SAS, juga ada AKA atau Duo Kribo. Tapi kemana mereka sekarang? Generasi muda sekarang nggak bisa tahu riwayat mereka karena nggak ada data yang memadai," cetus Dodon yang mengaku mulai menggemari musik rock sejak duduk di kelas 2 SMP.
Ini tentu beda dengan grup musik mancanegara yang selalu menyertakan katalog di album mereka. Bahkan di album yang masuk kategori special edition, mereka juga sertakan merchandise yang menjadi ciri khas grup musik tersebut. Merchandise itu bisa dalam bentuk sosok personel grup band itu yang diwujudkan boneka-boneka menarik atau bendera yang dikemas dalam bungkus menarik. Yang cukup sensasional, grup musik Slayer menyertakan sample darah personelnya di box shed. Sample darah itu disimpan dalam kantong plastik yang juga diisi sebuah CD lagu kelompok musik asal Amrik ini. Selain itu, yang terbaru adalah komik tiga dimensi yang melengkapi album Ramones, grup rock asal Amerika yang disebut cikal bakal SKA. “Jadi untuk melihat dengan baik, maka perlu kacamata khusus, sehingga adegan di komik itu seakan hidup. Saya bener-bener kagum ide-ide grup band ini bikin souvenir menarik untuk penggemarnya,” katanya. [SURYA, edisi Februari 2007]

Rottweiler, si Lambang Kejantanan!



Anjing –seperti juga kuda—bagi Singky Soewadji bisa jadi lambang kejantanan. Bentuknya yang sangar didukung tubuh yang kokoh bisa membuat bangga si empunya dan sekaligus merasa nyaman berada di dekatnya.
Dengan alasan itu pula, Singky yang semula penggemar doberman ini lalu mengalihkan perhatian pada jenis rottweiler. Sebab, menurut Singky, postur tubuh doberman kini cenderung jadi langsing.
“Doberman sekarang memang tidak lagi gagah seperti 10 tahun lalu,” tutur mantan Sekretaris Umum DPD Granat Jatim ini ketika disambangi di rumahnya di Perum Sutorejo Prima Indah Utara, Surabaya beberapa waktu lalu.

Apalagi, menurut Singky, memelihara doberman cukup repot dengan rutinitas potong telinga agar bentuknya terlihat berdiri dan bagus. Maka sejak tiga tahun lalu, Singky memutuskan beralih ke rottweiler.

Dari awalnya hanya memiliki seekor – itu pun diakui diberi temannya, Hermanto Gunawan, yang dikenal sebagai tokoh rottweiler—kini Singky memelihara 10 ekor rottweiler.
Rottweiler kedua yang dimilikinya, didatangkan langsung dari Yugoslavia. Anjing bernama Mo von Backerhaus itu adalah keturunan Jchyu Bronko od Dragicevica yang terkenal sebagai juara dunia. Koleksinya yang lain bernama Blondella od Vadanova. Rottweiler asal Kroasia berumur lima tahun ini adalah peraih terbaik Siegerin 2005.
Setelah itu, koleksi Singky jenis rottweiler peranakan lokal dan jumlahnya sempat sampai 15 ekor. Namun, yang pertumbuhannya dinilai kurang baik lalu diberikan ke orang lain, dan kini tinggal 10 ekor yang secara rutin diikutkan dalam beberapa kegiatan pameran dan kejuaraan.
Memelihara rottweiler ternyata tidak sulit karena anjing trah Jerman ini cenderung tidak rewel. Untuk makanan sehari-hari, biasa diberi dogfood plus vitamin kalsium yang dikirim adiknya dari Australia. Vitamin yang baik ini adalah jenis makanan yang juga biasa diberikan untuk anjing greyhound. “Ini bisa membentuk stamina jadi lebih bagus,” ujar Singky yang kini menjabat Penasehat DPD Granat Jatim.
Untuk makanan rottweiler tersebut, setiap bulan, Singky mengeluarkan biaya sekitar Rp 500.000/ekor. Jika perlu vitamin tambahan tentu biayanya bisa lebih besar.
Agar tidak terkesan terlalu garang, Singky membiasakan peliharaannya bersosialisasi dengan keluarga dan lingkungan tetangganya. Dalam sehari, rottweiler tersebut dilepas bebas berkeliaran. Kesempatan itu juga untuk memberi kesempatan hewan-hewan tersebut buang hajat.
“Saya memang tak membiasakan mereka buang hajat di dalam rumah. Karena itu, setiap pagi, sore, dan malam mereka saya lepas dan biasanya mereka lalu buang hajat di tanah kosong dekat rumah,” papar sulung dari tiga bersaudara ini.
Ketika para rottweiler ini menikmati kesempatan jalan-jalan, kandangnya disapu dan disemprot dengan karbol. Sehingga begitu mereka kembali, kandang sudah dalam keadaan bersih.
Untuk membentuk stamina, rottweiler itu tak dibiarkan lepas begitu saja. Mereka dilatih lari yang disesuaikan dengan umur masing-masing. Untuk yang masih anakan, jarak tempuh larinya 1 km, dan ketika remaja ditingkatkan jadi 2 km. Ketika menghadapi even pameran, porsi latihan ditingkatkan sampai dua kali lipat saat pagi dan malam hari.
Selain itu untuk menanamkan kewaspadaan serta membentuk tubuh yang kokoh, mereka juga dilatih dengan bola kecil dan bola basket. “Jika terbiasa waspada, cara mereka berdiri juga terbentuk gagah,” beber Singky yang lahir di Surabaya, 8 Mei 1960.
Kegiatan latihan bersama rottweiler tersebut sering dilakukan bersama Daniel Sean Auky Soewadji. Anak semata wayangnya itu meski baru berusia lima tahun sama sekali tak takut berdekatan dengan rottweiller yang postur tubuhnya jauh lebih besar.
Bahkan saat gelar Pameran Anjing Trah All Breed yang digelar Perkin Jatim Asia Kennel Union tanggal 21-22 April lalu, Daniel turut mengantar peliharaannya yang diberi nama Al Pacino von Dutch. Hasilnya, rottweiler berusia 3,5 bulan itu berhasil meraih predikat Juara 1. *

Anjing pun Punya Akta Lahir

Ternyata bukan cuma manusia yang perlu akta lahir. Rottweiler pun memiliki data kelahiran serta trah keluarga yang tercatat di Perkin (Persatuan Kinologi Indonesia).
Pendataan rottweiler di Perkin, menurut Singky, dilakukan sejak pasangan anjing ini kawin. Dan ketika anaknya lahir, kembali dilaporkan. Selanjutnya, waktu anak rottweiler menginjak umur 1,5-2 bulan ditato ditelinga untuk diberi nomer.
Nama pada anjing ini diberikan berdasar “nama kandang” pemiliknya. Singky sendiri memiliki dua nama kandang. Untuk jenis rottweiler dia menggunakan von Dutch. Sedang untuk trah lain Pengurus PKBSI (perkumpulan Kebun Binatang Seluruh Indonesia) ini memakai Ayuningrat.
“Saya juga punya ternakan golden retriever. Saat ini jumlahnya baru lima, sepasang golden retriever yang lalu beranak tiga ekor,” ungkap suami Lucky Anie Paat Soewadji yang juga member of WWF (World Wildlife Foundation) ini.
Rottweiler memang bukan jenis anjing biasa. Anjing yang kini banyak peminatnya ini memiliki harga jual lumayan tinggi. Untuk anakan dengan umur 1-2 bulan misalnya, harganya mencapai minimal Rp 2,5 juta. Jika sudah dewasa, betina rottweiler mampu melahirkan 6-12 ekor anak. Dan dalam setahun seekor rottweiler bisa dua kali beranak. “Jadi kalau saya punya 10 ekor betina dan beranak –katakanlah—60 ekor, maka dalam setahun jadi 120 ekor. Anggap saja 20 ekor mati jadi tinggal 100 ekor maka dalam setahun jika anakan rottweiler ini saya jual saya bisa memperoleh Rp 250 juta!” papar mantan atlet dan pelatih nasional olahraga berkuda ini berkalkulasi. [SURYA, edisi April 2007]

09 Januari 2008

PARTY....and party again!






Hiburan menjadi pilihan wajib masyarakat kota besar ketika mereka hendak melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan yang dihadapi tiap hari mulai pagi hingga sore atau menjelang petang. Tak heran jika sejumlah tempat hiburan selalu dipenuhi clubbers, khususnya di akhir pekan.
Di tengah menjamurnya tempat hiburan di Surabaya belakangan, yang mampu menyajikan pentas menarik lah yang jadi pilihan masyarakat, khususnya para eksekutif ini. Tak hanya kemasan musik, tapi juga atraksi penunjang yang dirancang manajemen tempat hiburan tersebut.
“Biasanya tiap dua bulan sekali kami menggelar tematic event,” papar Andi Nia, Communication Executive Shangri-La Hotel. Ide tema-tema acara itu, lanjut wanita yang akrab disapa Nia ini, biasanya datang dari Direktur F&B yang membawahi outlet dan restoran di bawah hotel bintang lima itu.
Aplikasinya, digeber di Desperados, tempat hiburan di lantai dasar Shangri-La Hotel yang selalu menyajikan hiburan live music band dari mancanegara. Yang paling gres, menjelang tahun baru lalu Shangri-La mengemas acara Chicago 1930. Selain musik yang disajikan beraroma rock, jazz, dan blues, interior Desperados pun ditata spesifik dengan dominasi warna hitam putih.
Untuk mendukung tema, staf Desperados mengenakan kostum ala Godfather. “Yang lama biasanya menyiapkan konsepnya. Bisa sebulan sendiri sebelum akhirnya diaplikasikan. Karena itu, agar acara yang kami suguhkan benar-benar sempurna, tematic event kami agendakan setiap dua bulan,” paparnya.
The Tavern Bar yang ada di lantai dasar Hyatt Regency Surabaya bisa jadi lebih spesifik dalam mempersiapkan tematic event. Hotel bintang lima di pusat kota ini malah membagi dalam dua pentas besar, yaitu VIP Stage, dan Night of Legend.
Khusus untuk VIP Stage yang dijadwalkan empat kali dalam setahun, difokuskan untuk menyajikan pentas berkualitas. Selain menghadirkan bintang tamu dari Jakarta, pentas VIP Stage biasanya didukung dengan tata dekorasi yang ‘wah’ sesuai tamu yang bakal hadir di acara spesial tersebut.
“Acara yang pernah kami adakan untuk VIP Stage ini misalnya ketika kami mendatangkan bintang tamu, Samsons, Ungu, dan Tompi ketika mereka belum begitu terkenal seperti sekarang,” Prima Soemarso, Public Relation Hyatt Regency Surabaya.
Sedang Night of Legend, lanjut Prima, cenderung lebih mengutamakan kemasan musik yang nantinya dinikmati clubbers. Di pentas ini, kostum yang dikenakan personel band maupun staf outlet sangat dominan mendukung tema yang tengah diangkat.
“Untuk Tribute to Queen misalnya. Kami menekankan pada personel musik agar berdandan ala Queen. Lagu-lagu yang mereka bawakan malam itu juga khusus lagu-lagu yang selama ini dibawakan grup musik legendaris itu,” katanya. Ditambahkan, interior The Tavern Bar juga disetting sesuai tema yang disuguhkan malam itu. Kostum, tak pelak menjadi urusan yang bisa jadi ribet ketika tematic event ini coba ditawarkan pada clubbers. Namun, jerih payah ini berbuah kepuasan ketika sang tamu justru merespon dengan antusias. Dress code yang disyaratkan bagi para tamu disambut dengan hadirnya pengunjung dengan beragam dandanan menarik. So, party pun kian heboh dan meriah. *

06 Januari 2008

Dance All Night Long






Party tanpa goyang, bak sayur tanpa garam. Dan ke kafe yang identik dengan party pasti tak lepas dari goyangan. Entah goyang kaki pelan-pelan, tangan mengetuk meja mengiringi irama-irama yang disajikan musisi di panggung.
Jika atmosfer mulai memanas, pasti tak puas hanya sekadar duduk. Bergeser ke dance floor, gerakan pelan kaki dan tangan mulai meningkat. Penetrasi gerakan ini menular ke seluruh anggota tubuh, seakan kegatalan. Pinggul ikutan bergoyang. Seakan ingin mengimbangi, maka kedua tangan di angkat melambai-lambai ke atas ditingkah beat-beat nada yang juga kian kencang.
Hugo’s Cafe bisa jadi adalah kafe yang mengawali ‘tradisi’ staff perform tersebut. Tempat hiburan yang kini menggurita di sejumlah kota seperti Malang, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Pekanbaru, dan Makasar ini bahkan memiliki ‘lagu kebangsaan’ bagi stafnya.
Black Legend, begitu komposisi ini dimainkan disc jockey (DJ), otomatis seluruh staf meninggalkan tugasnya masing-masing dan menempati stage atau bar counter. Sekitar sepuluh menit mereka menggugah semangat clubbers untuk larut dalam crowd.
“Dari awal Hugo’s memang sudah punya kebiasaan seperti itu. Kebijakan manajemen memang memberi kesempatan seluruh staf agar menyalurkan kebebasan berekspresi tanpa dibebani rasa malu,” tutur Dyah Restanty yang mengawali karier sebagai kasir, server, dan kini HRD Hugo’s Café Surabaya.
Party sambil kerja mungkin terdengar aneh, dan bukan sebaliknya. Tapi itu pula yang kini marak di sejumlah kafe seperti Colors Pub & Restaurant, Van Java, dan Vertical Six. Kebiasaan ini bahkan juga ditiru mentah-mentah oleh sebuah kafe tradisional yang setiap hari menyuguhkan kemasan musik dangdut.
Meski staff perform diakui manjur bisa menggiring clubbers larut dalam gemuruh party, toh tak semua kafe menetapkan waktu tertentu seperti yang dilakukan Hugo’s Café. “Staff perform dilakukan hanya kalau tamu sedang drop,” ujar Erick, Manajer Marketing Van Java.
Tapi, kalau suasana sudah crowd sejak awal, maka trik itu baru dilakukan. “Jadi sifatnya dadakan. Kalau suasana sedang rame-ramenya kita bikin staff perform kan tamunya malah kecewa juga ditinggalin dan ordernya tidak segera dipenuhi,” bebernya.
Dari sisi profit, bisa jadi staff perform di waktu-waktu tertentu juga tidak efektif dan hanya membuang peluang untuk mendapatkan income dari tamu yang order F&B. Namun, ketika dibutuhkan, seluruh staff operation yang sedang ada di venue otomatis beraksi bersama. “Staff perform memang sekadar variasi aja biar nggak monoton. Biar ada sesuatu yang lain selain pemain band, DJ, atau fashion dance misalnya. Jadi di saat diperlukan staf ikut gabung bikin perform menarik menggiring tamu bikin crowd,” ungkap Erick. *