
Hari ini kamar 2 di paviliun C-1 RSAL mendapat tambahan tiga pasien lagi. Satu anggota taruna yang sedang menempuh pendidikan diduga patah tulang ekornya akibat jatuh terduduk di kamar mandi. Satu lagi anggota marinir dengan pangkat --kalau tidak salah pratu-- mengalami luka cukup parah lantaran tabrakan dengan truk. Yang lain sipil. Remaja dengan kasus --lagi-lagi sama dengan yang aku alami, patah di tulang belikat. Tapi dia bagian kanan.
Praktis seharian ini seluruh awak paviliun C-1, tenaga paramedis, perawat, plus cleaning service sangat sibuk. Sayang di wajah mereka sama sekali tak tersirat senyum keramahan. Baik dengan penghuni baru maupun yang lama. Baik dengan anggota militer, apalagi dengan pasien sipil.
Sore harinya, dokter Erwin muncul dan langsung ke ruang perawat untuk memeriksa foto hasil rontgenku.
Informasi berikut yang diberikan dokter berwajah ganteng dan pintar omong ini betul-betul bikin aku terpaku. Apa aku tidak salah dengar? "Tulangku ternyata belum nyambung!"
Dokter Erwin lalu menunjuk hasil rontgen yang agak gelap yang memperlihatkan di bagian clavicula memang ada sisi yang memperlihatkan tulang belikat itu masih ada renggangan, ada jarak hampir 0,5 cm. Tak yakin dengan penjelasan dokter, aku kembali mencermati foto rontgen itu. Tetap tidak berubah.
Untuk itu, menurut dokter Erwin yang didampingi sejumlah asistennya, perlu dilakukan operasi ulang.
Informasi ini tentu jadi mimpi buruk buatku. Karena langsung terbayang aku masih harus jalani operasi lagi untuk pencabutannya nanti.
"Pertumbuhan tulang lambat," begitu penjelasan dokter Erwin. Akhirnya kedahuluan jaringan lemak, soft tissue atau apalah namanya aku tak begitu paham. Yang pasti kepalaku mendadak jadi pening. Bayang-bayang segera pulang langsung buyar.
Itu belum seberapa. Petunjuk dokter berikut kembali membuatku terpaku. Untuk menambal kerenggangan di clavicula itu harus dilakukan dengan mengambil jaringan tulang di bagian kaki!
Memang ada alternatif lain. Tapi toh tetap sama. Pilihan itu tak memberi sisi baik buatku, karena penambalan itu disarankan dengan memakai bone draft, bentuk tulang --dari tulang mayat-- yang dibeli dari bank tulang di RSUD dr Soetomo. Harganya sekitar Rp 300.000.
Masalahnya jika alternatif ini kuambil, operasi tidak bisa dilakukan langsung. Apalagi hari itu sudah sore, besok adalah Sabtu yang pasti jadi hari libur bagi instansi pemerintah. Jadi kemungkinan Senin atau malah Selasa aku baru bisa menjalani operasi ulang.
Namun, jika aku sepakat penambalan dilakukan dengan mengambil jaringan tulangku sendiri, selain lebih aman --karena dipastikan tidak ada perbedaan sel dengan tubuh-- juga bisa dilaksanakan lebih cepat. "Saya jamin tidak ada efek apa-apa. Bahkan kamu bisa langsung pake lari nantinya!" cetus dokter ini meyakinkan.
Malam itu berjalan terasa lambat. Untung, malam harinya kedua orangtuaku datang dengan Dini. Juga Ari adikku dan istrinya. Mendekati pukul 22.00 WIB, Win, istri adikku, Yoyok dan kemenakanku, Eki menyusul bersama lik Prapti, bulikku yang tinggal di Jakarta. Dia kebetulan di Surabaya menjenguk saudaranya di Rungkut.
Ngobrol dan bercanda jadi hiburan di kala hati ini sedang tak menentu lantaran informasi baru dokter tadi. Ayahku juga sempat marah-marah ke perawat. Pasalnya, ketika kemarin bertemu dengan dokter Erwin, ayahku mendapat penjelasan bahwa pelaksanaan operasi berjalan lancar dan sukses. "Kenapa kemarin bilang sukses tapi sekarang harus operasi lagi!" sergah ayahku.
Setelah berunding dengan keluarga dan mohon petunjuk-Nya, akhirnya aku putuskan mengambil jaringan tulang sendiri. Selain gratis (tidak perlu beli), pelaksanaan operasi bisa dilakukan hari Sabtu (itu pun aku paksa dokter Erwin untuk menjadwalkan cepat agar semuanya bisa segera selesai). Tentu dengan harapan tidak akan timbul resiko seusai pengambilan jaringan tulang di kakiku.
Aku memang sempat konsultasi juga dengan Hari Erwanto, staf di PSDM kantorku. Dia memberi saran agar menolak pelaksanaan operasi ulang dan mencoba minta advis dokter lain lebih dulu. Usul ini memang agak menenangkan, karena kemungkinan ada sisi pandang lain dari dokter spesialis lain atas kasusku ini. Tapi kalau kemudian buntutnya tetap operasi bagaimana? Berarti aku membuang waktu beberapa hari dan tetap kembali ke meja bedah!?
Ah, peliknya masalah ini! Di puncak rasa frustasi aku mencoba berpikir jernih, dan mencoba melontar usul ke 'sidang keluarga' malam itu,"Bagaimana kalau dibawa ke Sumput aja, ke sangkal putung. Jadi biar gak pakai operasi. Toh, pennya sudah dilepas!"
Kali ini mereka sepakat menolak. Mereka tetap pada saran untuk operasi dengan mengambil jaringan tulangku.
Begitu anggota keluargaku kembali pulang, keresahan kembali mencekam. Malam itu aku susah tidur. Selain AC ruang cukup dingin, bayang-bayang operasi ulang dengan 'pencongkelan' di bagian tulang kering ini terus membayangiku. Hingga hari menjelang subuh. (*)