08 Agustus 2010

niGHt mArE

Jumat (1/8). Seharian ini kulalui tanpa ada sesuatu yang istimewa. Selain slang infus sudah dilepas, aku masih mendapat suntikan untuk pereda rasa sakit.

Hari ini kamar 2 di paviliun C-1 RSAL mendapat tambahan tiga pasien lagi. Satu anggota taruna yang sedang menempuh pendidikan diduga patah tulang ekornya akibat jatuh terduduk di kamar mandi. Satu lagi anggota marinir dengan pangkat --kalau tidak salah pratu-- mengalami luka cukup parah lantaran tabrakan dengan truk. Yang lain sipil. Remaja dengan kasus --lagi-lagi sama dengan yang aku alami, patah di tulang belikat. Tapi dia bagian kanan.

Praktis seharian ini seluruh awak paviliun C-1, tenaga paramedis, perawat, plus cleaning service sangat sibuk. Sayang di wajah mereka sama sekali tak tersirat senyum keramahan. Baik dengan penghuni baru maupun yang lama. Baik dengan anggota militer, apalagi dengan pasien sipil.
Sore harinya, dokter Erwin muncul dan langsung ke ruang perawat untuk memeriksa foto hasil rontgenku.

Informasi berikut yang diberikan dokter berwajah ganteng dan pintar omong ini betul-betul bikin aku terpaku. Apa aku tidak salah dengar? Tulangku ternyata belum nyambung! Dokter Erwin lalu menunjuk hasil rontgen yang agak gelap yang memperlihatkan di bagian clavicula memang ada sisi yang memperlihatkan tulang belikat itu masih ada renggangan, ada jarak hampir 0,5 cm. Tak yakin dengan penjelasan dokter, aku kembali mencermati foto rontgen itu. Tetap tidak berubah.

Untuk itu, menurut dokter Erwin yang didampingi sejumlah asistennya, perlu dilakukan operasi ulang. Informasi ini tentu jadi mimpi buruk buatku. Karena langsung terbayang aku masih harus jalani operasi lagi untuk pencabutannya nanti.

Pertumbuhan tulang lambat, begitu penjelasan dokter Erwin. Akhirnya kedahuluan jaringan lemak, soft tissue atau apalah namanya aku tak begitu paham. Yang pasti kepalaku mendadak jadi pening. Bayang-bayang segera pulang langsung buyar.

Itu belum seberapa. Petunjuk dokter berikut kembali membuatku terpaku. Untuk menambal kerenggangan di clavicula itu harus dilakukan dengan mengambil jaringan tulang di bagian kaki!
Memang ada alternatif lain. Tapi toh tetap sama. Pilihan itu tak memberi sisi baik buatku, karena penambalan itu disarankan dengan memakai bone draft, bentuk tulang --dari tulang mayat-- yang dibeli dari bank tulang di RSUD dr Soetomo. Harganya sekitar Rp 300.000.

Masalahnya jika alternatif ini kuambil, operasi tidak bisa dilakukan langsung. Apalagi hari itu sudah sore, besok adalah Sabtu yang pasti jadi hari libur bagi instansi pemerintah. Jadi kemungkinan Senin atau malah Selasa aku baru bisa menjalani operasi ulang.

Namun, jika aku sepakat penambalan dilakukan dengan mengambil jaringan tulangku sendiri, selain lebih aman --karena dipastikan tidak ada perbedaan sel dengan tubuh-- juga bisa dilaksanakan lebih cepat.

"Saya jamin tidak ada efek apa-apa. Bahkan kamu bisa langsung pake lari nantinya!" cetus dokter ini meyakinkan.

Malam itu berjalan terasa lambat. Untung, malam harinya kedua orangtuaku datang dengan Dini. Juga Ari adikku dan istrinya. Mendekati pukul 22.00 WIB, Win, istri adikku, Yoyok dan kemenakanku, Eki menyusul bersama lik Prapti, bulikku yang tinggal di Jakarta. Dia kebetulan di Surabaya menjenguk saudaranya di Rungkut.

Ngobrol dan bercanda jadi hiburan di kala hati ini sedang tak menentu lantaran informasi baru dokter tadi. Ayahku juga sempat marah-marah ke perawat. Pasalnya, ketika kemarin bertemu dengan dokter Erwin, ayahku mendapat penjelasan bahwa pelaksanaan operasi berjalan lancar dan sukses. "Kenapa kemarin bilang sukses tapi sekarang harus operasi lagi!" sergah ayahku.

Setelah berunding dengan keluarga dan mohon petunjuk-Nya, akhirnya aku putuskan mengambil jaringan tulang sendiri. Selain gratis (tidak perlu beli), pelaksanaan operasi bisa dilakukan hari Sabtu (itu pun aku paksa dokter Erwin untuk menjadwalkan cepat agar semuanya bisa segera selesai). Tentu dengan harapan tidak akan timbul resiko seusai pengambilan jaringan tulang di kakiku.

Aku memang sempat konsultasi juga dengan Hari Erwanto, staf di PSDM kantorku. Dia memberi saran agar menolak pelaksanaan operasi ulang dan mencoba minta advis dokter lain lebih dulu. Usul ini memang agak menenangkan, karena kemungkinan ada sisi pandang lain dari dokter spesialis lain atas kasusku ini. Tapi kalau kemudian buntutnya tetap operasi bagaimana? Berarti aku membuang waktu beberapa hari dan tetap kembali ke meja bedah!?

Ah, peliknya masalah ini! Di puncak rasa frustasi aku sempat melontar usul ke 'sidang keluarga' malam itu,"Bagaimana kalau dibawa ke Sumput aja, ke sangkal putung. Jadi biar gak pakai operasi. Toh, implan 'pen'nya sudah dilepas!"

Kali ini mereka sepakat menolak. Mereka tetap pada saran untuk operasi dengan mengambil jaringan tulangku.

Begitu anggota keluargaku kembali pulang, keresahan kembali mencekam. Malam itu aku susah tidur. Selain AC ruang cukup dingin, bayang-bayang operasi ulang dengan 'pencongkelan' di bagian tulang kering ini terus membayangiku. Hingga hari menjelang subuh. (*)

21 September 2008

Koridor Penantian.....

Minggu (3/8) dini hari. Pada waktu hampir sama, sekitar pukul 05.30 WIB, dokter Erwin
--juga masih pake sarung plus kopiah-- kembali menjenguk ruanganku. Kali ini dia rupanya ingin lebih intens mengikuti perkembangan hasil operasi yang dilakukannya.

Kesempatan itu langsung kumanfaatkan untuk mengeluhkan rasa nyeri yang masih kurasakan meski sudah diberi suntikan anti sakit oleh perawat. Mendengar keluhanku itu, dokter Erwin lalu meminta perawat untuk memberi obat anal. Obat pereda sakit yang dimasukkan lewat --maaf-- dubur. "Obat ini memberi efek lebih baik ketimbang suntikan," tutur sang perawat.

Memang, setelah istriku memasukkan obat seperti 'peluru' berwarna putih itu, rasa nyeri di pundak kiriku berangsur lenyap. Dan hari itu, bisa kulalui dengan lebih baik. Seperti operasi sebelumnya. Seharian itu aku kembali mengamati sekelilingku.

Semua masih seperti sehari atau malah dua hari sebelumnya. Jumlah pasien masih lima orang. Dua anggota marinir, dan lainnya pasien sipil. Pak Masrukan masih juga belum dioperasi. Entah kenapa dia harus menunggu jadwal operasi untuk tulang selangka begitu lama. Menurut pak Masrukan, operasinya baru diagendakan hari Senin.

Oya, hari ini ranjang pak Yahya kosong. Pria keturunan Arab ini 'mudik' untuk menikmati suasana lain di rumahnya. Sebagai pasien yang sudah menghuni ruangan ini sejak dua bulan lalu, pak Yahya memang sepertinya diberi 'hak istimewa' pulang pada saat-saat tertentu. Yah sekedar week end mungkin agar tidak makin stres menghadapi luka di bagian paha kanannya.

Tabung infus berikut selangnya sudah dilepas dari tangan kananku. Namun, jarum yang ada di punggung pergelangan tangan kananku tak ikut dicabut. Melalui jarum itu, perawat memberiku obat pereda sakit setiap hari tiga kali. Siang sekitar pukul 14.00, malam jam 20.00, dan dini hari pukul 04.30. Di saat-saat pemberian suntikan ini lah aku pasti stres, lantaran rasa sakit yang begitu kuat ketika cairan obat itu menjalari pembuluh darah di tangan kananku. (*)

20 September 2008

Menit menit penentuan.....

Sabtu (2/8) Subuh. Sekitar pukul 05.30 WIB, masih dengan mengenakan sarung dan kopiah, dokter Erwin kembali mengunjungi kamar perawatanku. Selain memeriksa kondisi pasien lain yang ada di bawah penanganannya, dia juga kembali meminta ketegasan soal keputusanku.

"Kalau akhirnya ini saya serahkan dokter, saya harap yang terbaik yang dokter lakukan pada saya!" Hanya itu kalimat penuh kepasrahan yang bisa aku ucapkan padanya. Dengan harapan, pada operasi berikutnya ini dia betul-betul melakukannya dengan teliti sehingga nanti mendapat hasil maksimal.

Istriku yang mengetahui kegundahan hatiku mencoba ikut ambil peran. "Apa dokter bisa memberi jaminan tertulis? Karena kantor suami saya tentu juga ingin mendapat keyakinan bahwa tindakan yang dilakukan tidak merugikan karyawannya!"

Tampaknya dokter Erwin sedikit terusik dengan gertakan itu. Tapi, dokter spesialis tulang, sendi, urat, dan otot ini mencoba berkelit,"Bisa saja saya memberi surat itu. Nggak masalah. Tapi apa perlu. Karena ini sudah sering saya lakukan. saya yakin tidak ada efek apa-apa terhadap kondisi kaki karena yang diambil sedikit sekali."

Akhirnya memang hanya kepasrahan pada-Nya yang bisa kulakukan. Seraya terus berharap dan berdoa agar Allah tak henti memberi kekuatan padaku untuk menjalani cobaan ini. Begitu dokter Erwin berlalu, suster kembali memasang botol infus dan menyerahkan baju seragam yang mesti dipakai untuk masuk ruang operasi. Jika sebelumnya ada celana panjang plus baju lengan pendek dengan warna sama, kuning, kali ini hanya baju yang diserahkan.

Tak masalah. Karena saat operasi pertama hari Kamis lalu pun celana itu tidak kupakai. Untuk penutup bawahan, kupakai kain sarung yang kubawa dari rumah. Atas perintah dokter Erwin, perawat sudah mengantarku ke ruang bedah lebih awal, sekitar pukul 08.00 WIB.

Menjelang pintu masuk ICU yang berbatasan dengan ruang bedah, aku bertemu dengan Edi, teman dari bagian layout di kantorku. Dia sedang menunggu pacarnya yang menjalani operasi juga. Tapi untuk kasus semacam tumor di bagian kewanitaannya. [belakangan baru kuketahui, gadis itu meninggal lantaran penyakitnya sudah kronis. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun......]

Adikku, Ari kali ini datang lebih awal. Dia --sesuai janji dokter Erwin-- diberi kesempatan untuk ikut masuk ke ruang operasi. Sebetulnya peluang itu diberikan pada isteriku, tapi lantaran khawatir malah bakal pingsan di dalam, maka Ari yang gantikan posisinya.

Ayahku dan Dini juga ikut mengiringi ke pintu masuk ruang bedah. Ibu tidak ikut datang. Selain perjalanan menuju paviliunku cukup jauh, hari itu Ibu juga mengurus berkas pengobatan Ayah.

Momon, adikku yang kerja di Semarang juga sempat datang bersama isteri dan anak bungsunya, Sultan. Tapi, aku tak sempat ketemu mereka. Aku sudah di dalam menunggu persiapan pembedahan berikutnya. Persiapan awal sudah dilakukan. Berikutnya suntikan, entah untuk apalagi.

Setelah itu, aku digeser ke ruang cukup luas dengan lampu-lampu bulat besar di atas. Tubuhku hanya tertutup kain warna hijau. Kain sarungku sudah ditarik paramedis. Tangan kananku yang tersambung slang infus diletakkan pada sebuah papan dan diikat. Disambung dengan alat pengukur tekanan darah. Tenaga paramedis juga memasang tiga alat deteksi jantung. Satu dipasang di punggung sebelah kiri, dua lainnya di dada.

Aku sempat melirik jarum jam yang menunjuk angka 10.00 sebelum akhirnya kembali kehilangan kesadaran. Tanpa mimpi yang sempat kuingat, atau apa pun yang menyela ketidaksadaranku. Hanya sesaat ketika kudengar suara berisik. Kesibukan para perawat yang membereskan ruangan.

Ada rasa lain yang terasa tidak nyaman. Tidak seperti operasi sebelumnya. Operasi ketiga ini menimbulkan rasa perih pada luka bekas operasi. Kepedihan itu begitu terasa seakan aku tadi tidak diberi obat pereda sakit.

Sekitar pukul 14.00 WIB aku meninggalkan ruang bedah dan menuju kamar foto rontgen. Kembali ke paviliun, aku disambut pelukan Dini. Lintang, anak sulungku tidak ikut karena sejak Kamis kemarin ada di Gresik untuk ikut kompetisi panjat tebing.

Dada ini terasa plong. Paling tidak kehadiran mereka membuatku jadi sedikit nyaman. Meski akhirnya aku tak kuasa menahan lelehan air mata. Bukan penyesalan karena pilihan operasi yang baru saja kujalani.

Tapi, luka itu begitu terasa nyeri! Waktu masuk paviliun itu pula, aku baru sadar bahwa kaki kiriku, mulai bagian lutut ke bawah dibebat sepanjang lebih dari 20 cm. "Seperti apa luka di kaki yang kata dokter diambil jaringan tulangnya ini?" (*)

10 Agustus 2008

niGHt mArE

Jumat (1/8). Seharian ini kulalui tanpa ada sesuatu yang istimewa. Selain slang infus sudah dilepas, aku masih mendapat suntikan untuk pereda rasa sakit.

Hari ini kamar 2 di paviliun C-1 RSAL mendapat tambahan tiga pasien lagi. Satu anggota taruna yang sedang menempuh pendidikan diduga patah tulang ekornya akibat jatuh terduduk di kamar mandi. Satu lagi anggota marinir dengan pangkat --kalau tidak salah pratu-- mengalami luka cukup parah lantaran tabrakan dengan truk. Yang lain sipil. Remaja dengan kasus --lagi-lagi sama dengan yang aku alami, patah di tulang belikat. Tapi dia bagian kanan.

Praktis seharian ini seluruh awak paviliun C-1, tenaga paramedis, perawat, plus cleaning service sangat sibuk. Sayang di wajah mereka sama sekali tak tersirat senyum keramahan. Baik dengan penghuni baru maupun yang lama. Baik dengan anggota militer, apalagi dengan pasien sipil.
Sore harinya, dokter Erwin muncul dan langsung ke ruang perawat untuk memeriksa foto hasil rontgenku.

Informasi berikut yang diberikan dokter berwajah ganteng dan pintar omong ini betul-betul bikin aku terpaku. Apa aku tidak salah dengar? "Tulangku ternyata belum nyambung!"

Dokter Erwin lalu menunjuk hasil rontgen yang agak gelap yang memperlihatkan di bagian clavicula memang ada sisi yang memperlihatkan tulang belikat itu masih ada renggangan, ada jarak hampir 0,5 cm. Tak yakin dengan penjelasan dokter, aku kembali mencermati foto rontgen itu. Tetap tidak berubah.

Untuk itu, menurut dokter Erwin yang didampingi sejumlah asistennya, perlu dilakukan operasi ulang.

Informasi ini tentu jadi mimpi buruk buatku. Karena langsung terbayang aku masih harus jalani operasi lagi untuk pencabutannya nanti.

"Pertumbuhan tulang lambat," begitu penjelasan dokter Erwin. Akhirnya kedahuluan jaringan lemak, soft tissue atau apalah namanya aku tak begitu paham. Yang pasti kepalaku mendadak jadi pening. Bayang-bayang segera pulang langsung buyar.

Itu belum seberapa. Petunjuk dokter berikut kembali membuatku terpaku. Untuk menambal kerenggangan di clavicula itu harus dilakukan dengan mengambil jaringan tulang di bagian kaki!

Memang ada alternatif lain. Tapi toh tetap sama. Pilihan itu tak memberi sisi baik buatku, karena penambalan itu disarankan dengan memakai bone draft, bentuk tulang --dari tulang mayat-- yang dibeli dari bank tulang di RSUD dr Soetomo. Harganya sekitar Rp 300.000.

Masalahnya jika alternatif ini kuambil, operasi tidak bisa dilakukan langsung. Apalagi hari itu sudah sore, besok adalah Sabtu yang pasti jadi hari libur bagi instansi pemerintah. Jadi kemungkinan Senin atau malah Selasa aku baru bisa menjalani operasi ulang.

Namun, jika aku sepakat penambalan dilakukan dengan mengambil jaringan tulangku sendiri, selain lebih aman --karena dipastikan tidak ada perbedaan sel dengan tubuh-- juga bisa dilaksanakan lebih cepat. "Saya jamin tidak ada efek apa-apa. Bahkan kamu bisa langsung pake lari nantinya!" cetus dokter ini meyakinkan.

Malam itu berjalan terasa lambat. Untung, malam harinya kedua orangtuaku datang dengan Dini. Juga Ari adikku dan istrinya. Mendekati pukul 22.00 WIB, Win, istri adikku, Yoyok dan kemenakanku, Eki menyusul bersama lik Prapti, bulikku yang tinggal di Jakarta. Dia kebetulan di Surabaya menjenguk saudaranya di Rungkut.

Ngobrol dan bercanda jadi hiburan di kala hati ini sedang tak menentu lantaran informasi baru dokter tadi. Ayahku juga sempat marah-marah ke perawat. Pasalnya, ketika kemarin bertemu dengan dokter Erwin, ayahku mendapat penjelasan bahwa pelaksanaan operasi berjalan lancar dan sukses. "Kenapa kemarin bilang sukses tapi sekarang harus operasi lagi!" sergah ayahku.

Setelah berunding dengan keluarga dan mohon petunjuk-Nya, akhirnya aku putuskan mengambil jaringan tulang sendiri. Selain gratis (tidak perlu beli), pelaksanaan operasi bisa dilakukan hari Sabtu (itu pun aku paksa dokter Erwin untuk menjadwalkan cepat agar semuanya bisa segera selesai). Tentu dengan harapan tidak akan timbul resiko seusai pengambilan jaringan tulang di kakiku.

Aku memang sempat konsultasi juga dengan Hari Erwanto, staf di PSDM kantorku. Dia memberi saran agar menolak pelaksanaan operasi ulang dan mencoba minta advis dokter lain lebih dulu. Usul ini memang agak menenangkan, karena kemungkinan ada sisi pandang lain dari dokter spesialis lain atas kasusku ini. Tapi kalau kemudian buntutnya tetap operasi bagaimana? Berarti aku membuang waktu beberapa hari dan tetap kembali ke meja bedah!?

Ah, peliknya masalah ini! Di puncak rasa frustasi aku mencoba berpikir jernih, dan mencoba melontar usul ke 'sidang keluarga' malam itu,"Bagaimana kalau dibawa ke Sumput aja, ke sangkal putung. Jadi biar gak pakai operasi. Toh, pennya sudah dilepas!"

Kali ini mereka sepakat menolak. Mereka tetap pada saran untuk operasi dengan mengambil jaringan tulangku.

Begitu anggota keluargaku kembali pulang, keresahan kembali mencekam. Malam itu aku susah tidur. Selain AC ruang cukup dingin, bayang-bayang operasi ulang dengan 'pencongkelan' di bagian tulang kering ini terus membayangiku. Hingga hari menjelang subuh. (*)

08 Agustus 2008

Operasi kedua........


Kamis (31/8) pagi itu, dua perawat sudah sibuk mencari urat nadi di tangan kananku untuk memasukkan jarum infus. Berikutnya suntikan untuk mengetahui kemungkinan aku menderita alergi tertentu. Persiapan awal lain beruntun dilakukan, seperti tes jantung sebelum akhirnya aku diminta memakai baju khusus untuk masuk ruang bedah.

Sekitar pukul 09.00 WIB, aku pindah ke ranjang yang kemudian didorong ke ruang anesthesi. Di ruang itu kulihat sejumlah pasien juga tengah menunggu giliran operasi.

Terakhir aku masih melihat jarum jam di dinding ruang bedah menunjuk angka mendekati pukul 10.00 WIB. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi sampai berikutnya sadar ketika mendengar ucapan salah seorang perawat,"Sudah selesai, Pak, operasinya!" Hampir empat jam aku tidak sadarkan diri dan menjalani operasi.

Sebelum kembali ke ruang perawatan, aku masih di atas ranjang beroda dan didorong menuju ruang rontgen. Kembali ke paviliun, pindah kembali ke ruang perawatan. Sama sekali tak ada yang istimewa. Semua aman.

Tak ada anggota keluarga lain yang menyambut usai operasi. Aku sendiri sengaja memberi tahu adik-adikku begitu pelaksanaan operasi usai. Aku tak ingin merepotkan mereka yang tentu punya kesibukan sendiri di hari kerja ini. Kedua orangtuaku yang sedang menjaga Dini, anak bungsuku di rumah juga kuminta tidak buru-buru datang ke RSAL. Selain lantaran lokasi kamarku jauh dari pintu masuk utama, aku anggap operasi ini tidak terlalu istimewa sehingga aku bisa segera kembali pulang.

Ketika masuk kembali ke ruang perawatan, aku baru menyadari di ruangan itu tinggal ada dua pasien, aku dan pak Yahya. Pria keturunan Arab ini malah sudah dua bulan menjalani perawatan akibat luka parah di kaki kanannya. Akibat operasi yang dia jalani ternyata daging di bagian pahanya tidak bisa tumbuh normal sehingga menimbulkan lubang hingga ke tulangnya. Wah!

Ruang kelas 3 ini terasa lengang hanya dengan dua pasien. Antar pasien bisa saling lihat karena tidak ada sekat yang memisahkan. Ini juga yang sering bikin pasien kehilangan rasa privasi. Meski semua pasien lelaki, namun yang jaga bisa istri, saudara perempuan, atau ibunya. Di saat seorang pasien harus menjalani perawatan khusus di salah satu bagian tubuhnya, bisa saja terlihat bebas oleh orang lain di ruangan itu.

Tadinya aku sempat minta pindah ke ruang kelas 2. Tapi, lagi-lagi terbentur masalah biaya. Ya sudahlah, toh kata perawat saya cuma akan dua atau tiga hari di rumah sakit itu.

Malam itu istriku bisa tidur sedikit enak di atas ranjang di sebelah kiriku yang semula di tempati anak kecil dengan luka di tangan kirinya itu. Tapi itu tidak lama. Lewat tengah malam, terdengar suara sedikit sibuk para perawat yang mempersiapkan ranjang di sudut dekat pintu ke kamar mandi.

Ada pasien baru. Kali ini namanya pak MAsrukan. Pria asal Probolinggo ini mengalami kecelakaan di kawasan Kebun Binatang Wonokromo. Gara-gara ngantuk sepulang menjalankan tugas di Madura, motor yang dikendarai pria dengan logat Madura kental ini membentur trotoar. Persis seperti aku, tulang belikat kiri patah. (*)

DaRK nIGhT @ RSAL


Tentu bukan kesengajaan jika isi berikut blog ini adalah kisah --yang lagi-lagi-- mengenai clavicula. Setelah sekian lama dijejali kesibukan rutin liputan dan liputan, akhirnya aku harus menetapkan waktu untuk melepas pen di tulang belikat kiri ini.

Sebuah pilihan yang sekali lagi terpaksa. Karena, jujur, aku sebetulnya tak menghendaki adanya aksi operasi apa pun yang buntutnya kembali berhubungan dengan rumah sakit. Tapi kecelakaan berikutnya yang terjadi tanggal 7 Juni 2008 lalu membuatku tak bisa mengelak operasi pengambilan pen ini.

Aku sendiri tak melihat adanya keterkaitan antara kecelakaan kedua di depan Bank Niaga Sidoarjo itu dengan keharusan menjalani operasi pengambilan pen. Sebab, waktu itu, kecelakaan tak membuat diriku terlalu 'merana' dibanding kecelakaan pertama di kawasan Jl Urip Sumoharjo. (baiknya aku pisahkan cerita kecelakaan kedua itu pada bagian tersendiri ya).

Namun, sepulang dari pelancongan ke Malaysia, saat bangun pagi mendadak terasa ada tonjolan di bagian pundak kiri. Ketika aku periksakan ke dokter Erwin Manaf --dokter yang merawatku khusus untuk kasus bedah tulang clavicula ini-- dan dari hasil rontgen dicurigai adanya posisi pen yang miring.

Kenapa? "Mungkin karena mur yang kendor!" Jawaban dokter ini tak hanya bikin kepala jadi pening, tapi hati juga resah. Lha mur kok kendor, kayak mur motor yang kendor kalau lepas kan onderdil bisa lari kemana-mana!

Keresahan itulah yang akhirnya membuatku mengambil keputusan untuk segera melakukan operasi pengambilan pen!

setelah berunding dengan pihak PSDM di kantor, aku menghubungi kembali dokter Erwin untuk menyepakati tanggal 30 Juli 2008 aku masuk RS TNI AL dr Ramelan. Dokter Erwin yang berpangkat mayor TNI Angkatan Laut itu memang praktek di rumah sakit tersebut. Selain itu, rumah sakit ini kupilih, karena biaya operasi bisa lebih murah (kalau aku kembali ke RS Delta Surya Sidoarjo bisa mencapai Rp 11juta-12juta, belum termasuk obat-obatan dan lain-lain).

Sementara di RSAL hanya sekitar Rp 3,5 juta-4,5 juta hanya untuk bea operasinya. Dan kebetulan kantorku sudah menjalin kerja sama dengan RSAL sehingga proses administrasi bisa dilakukan dengan mudah.

Resikonya memang jadi jauh dari rumah. Tapi mau bagaimana lagi. Soal dana ini harus lebih diutamakan agar aku tak tekor gara-gara nambahin bea operasinya nanti.

Hari pertama masuk rumah sakit menimbulkan rasa tegang dalam hati. Sekitar pukul 18.00 WIB aku bersama istri masuk lobi UGD untuk melakukan pendaftaran. Sambil menunggu proses input data administrasi, aku diminta kembali rontgen.

Begitu mendapat informasi ruang tempat aku menjalani perawatan, aku dan istri langsung mencarinya dengan menapaki koridor rumah sakit yang lumayan besar itu. Akhirnya kami sampai di paviliun C-1.

Saat itu dari enam ranjang yang mengisi ruangan berukuran sekitar 6x6 meter itu hanya menyisakan dua ranjang kosong, termasuk yang akhirnya aku isi. Beruntung aku mendapat posisi tepat di sisi jendela dekat pintu masuk. Di sebelahku ada pasien anak-anak yang tampaknya mengalami patah tulang di tangan kirinya. Lainnya, orang dewasa dengan kasus mirip, patah tulang dengan posisi berbeda-beda.

Aku melihat jam dinding yang masih menunjuk angka 19.30 WIB. Masih cukup lama untuk menambah porsi ketegangan sampai esok pagi dilakukan operasi. Akhirnya kuajak istriku pelesir ke Royal Plaza, yang persis ada di depan rumah sakit ini. Dari sekadar ingin melepas keresahan hati lalu kuputuskan masuk gedung bioskop di lantai paling atas. Filmnya: Dark Night, film yang laris saat ini dan menduduki posisi puncak Box Offfice.

Alih-alih melepas ketegangan, film yang ternyata durasinya hampir dua jam ini malah membuat ketegangan berikutnya. Selain lantaran alur cerita yang sangat menyita perhatian serius, di tengah-tengah keasyikan menonton HPku berdering. Dari kantor!

"Sampean dicari orang RSAL. Ditunggu di paviliun C-1!" begitu pesan operator telepon di kantorku saat telepon aku jawab.

Lha! Tanpa menunggu film selesai, kami akhirnya meninggalkan gedung bioskop. Saat sampai di pintu depan paviliun C-1, kami baru sadar, pintu kaca itu dalam keadaan terkunci!
Inilah kesalahan pertama masuk RSAL, tidak menanyakan prosedur 'lalu lintas' ruang perawatan.

Belakangan baru kuketahui bahwa setiap pukul 22.00 WIB, pintu paviliun memang dikunci. Dengan wajah bersungut, salah seorang perawat yang membukakan pintu paviliun menambahkan pesan,"Pak puasa ya, besok kan operasi!" (*)

25 Maret 2008

Bermain-main dengan Pussy


Kecintaannya dengan hewan trah harimau ini sudah melekat sejak kecil. Waktu remaja, wanita bernama lengkap Ratih Sri Umiyati ini mengawali dengan memelihara kucing lokal. Di rumahnya terdapat sedikitnya lima ekor kucing kampung.
“Waktu itu Mama melarang memelihara kucing ras karena dianggap belum mampu dan belum memiliki tanggung jawab terhadap hewan yang harganya tidak murah,” papar Ratih, begitu wanita ini akrab disapa ketika disambangi Surya di rumahnya di Graha Family, Kamis (31/5). Ditambahkan, dulu kucing ras memang sangat sulit didapat sehingga harganya pun relatif mahal.
Setelah menikah, bungsu dari empat bersaudara ini ternyata mendapat dukungan penuh dari suami untuk memelihara kucing ras. Bisa dimaklumi. Pasalnya, sang suami waktu masih di Kanada juga pernah memiliki beberapa ekor kucing Persia.
Dan kini, di rumahnya seakan jadi ‘kerajaan kucing’. Sedikitnya 70 ekor kucing jenis Persia menghuni setiap sudut rumahnya, bahkan kamar-kamar di rumah tersebut ‘dikuasai’ binatang peliharaan berbulu lebat itu. “Kucing Persia pertama yang saya miliki saya beli dengan harga Rp 1.750.000. Kucing jantan bernama Simba itu sangat menarik dengan warna krem,” tuturnya.
Sejak memiliki Simba, maka wanita cantik kelahiran Surabaya, 27 Maret 1973 ini lalu mengenal dokter hewan, rumah sakit hewan, petshop, serta komunitas kucing. Sejak itu pula perburuan terhadap kucing Persia berkualitas pun dimulai. “Setelah yakin mampu memelihara dengan benar, saya akhirnya mencoba mendatangkan kucing-kucing berkualitas dari beberapa Negara seperti Kanada, Rusia, Amerika, dan Jerman,” ungkap Ratih.
Ketika koleksinya sudah cukup ‘berbobot’ maka Ratih memberanikan diri mengikuti kontes. Hasilnya beberapa ‘anak asuh’ Ratih seperti Midnite Show, Mr Van, Mirabel, Kiss Me, dan I Love You Too meraih penghargaan di tingkat regional Jatim dan nasional. Mereka bahkan pernah memperoleh prestasi di ajang International Cat Show yang diadakan di Jakarta maupun Bandung.
Dengan adanya kucing-kucing impor yang berkualitas, Ratih pun resmi menjadi cattery (breeder yang berhak mengeluarkan sertifikat) dengan nama MY TLC. TLC adalah singkatan Tender Loving Care artinya Cattery yang merawat kucing-kucingnya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Tahun 2003, MY TLC resmi menjadi cattery yang berstandart internasional dengan menjadi anggota cattery di FIFe (Feline International Federation) yang bermarkas di Swiss.
Tak hanya itu. Ratih juga aktif dalam organisasi ‘perkucingan’ yaitu Indonesian Cat Association (ICA). Perhatiannya yang besar pada satwa jinak ini pula yang akhirnya menempatkan Ratih sebagai Ketua ICA Korwil Jatim.
“Kucing Persia itu jenis hewan yang tak banyak bersuara, mudah beradaptasi dengan binatang lain maupun anak kecil. Karena itu saya lebih suka memeliharah kucing Persia ketimbang kucing ras lain,” jelas Ratih yang bercita-cita memiliki rumah sakit hewan ini.
Menurut Ratih, puluhan kucing kesayangannya itu rutin menjalani latihan olah tubuh dengan lari-lari di taman belakang rumah atau bagian lain di rumah berukuran besar tersebut selama dua jam setiap hari. “Ibaratnya, tidak ada satu ruangan pun yang dilarang bagi kucing untuk bermain,” tegasnya sambil tersenyum.
Meski begitu, lanjut Ratih, kucing jantan, kucing yang hamil dan anakan yang kurang dari tujuh bulan, mendapatkan tempat khusus saat bermain. Tujuannya agar kucing jantan tidak berkelahi dengan kucing jantan yang lain, bagi kucing yang hamil tidak mengalami keguguran dan bagi kucing anakan tidak mengalami cedera patah tulang. *

Harus Rajin Potong Kuku

Jangan bayangkan hidup bersama puluhan ekor kucing Persia selalu menikmati kegembiraan menyaksikan tingkah mereka yang lucu. Perhatian penuh sang pengasuh juga dibutuhkan ketika binatang keturunan harimau ini sedang mengalami sakit.enurut Ratih, penyakit yang biasa menyerang kucing trah Persia ini nyaris tak beda dengan manusia. Selain flu (pilek), kucing berhidung pesek ini juga bisa kena sariawan, sakit mata, dan jamur kulit.
Dan penyembuhannya ternyata juga tak susah karena bisa diberi obat yang biasa dikonsumsi manusia jika sedang sakit yang sama. Kalau kena flu misalnya, bisa diberi Amoxycilin jenis sirup kering. Untuk daya tahan, kucing jenis ini bisa pula diberi Natur E atau Curmino.
“Tapi, dosisnya disesuaikan. Untuk kucing cukup seperempat dosis yang biasa dikonsumsi anak-anak,” papar Ratih yang kini tercatat sebagai mahasiswa D-3 Veteriner/Kesehatan Hewan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Dan jika terkena sakit mata, menurut Ratih, cukup diusap dengan kapas yang sudah dibasahi dengan cairan boorwater.
Namun, pengobatan yang dilakukan sendiri itu pun ada batas toleransinya. “Kalau sampai tiga hari nggak juga sembuh kita harus segera konsultasikan dengan dokter,” tegasnya.
Perhatian juga diperlukan untuk memotong kukunya secara rutin setiap minggu sekali, sehingga kucing-kucing manis ini tak sampai melukai temannya atau mencakar benda-benda di rumah. Selain itu, kesehatan telinga kucing Persia juga perlu diperhatikan dengan membersihkan setiap hari.
Ketika sang kucing Persia betina melahirkan juga perlu pertolongan. Pasalnya, waktu melahirkan anaknya sang induk melalui proses cukup berat. Bentuk kepalanya yang bulat membuatnya cukup sulit keluar. Dan begitu sudah lahir, maka sang induk sibuk sendiri menyembuhkan rasa sakit sehingga tak mempedulikan anaknya.
Karena itu,”Kita harus sigap segera membuka selaput plasenta yang masih menutup tubuh bayi kucing itu serta memotong tali pusarnya,” papar Ratih. **