21 September 2008

Koridor Penantian.....

Minggu (3/8) dini hari. Pada waktu hampir sama, sekitar pukul 05.30 WIB, dokter Erwin
--juga masih pake sarung plus kopiah-- kembali menjenguk ruanganku. Kali ini dia rupanya ingin lebih intens mengikuti perkembangan hasil operasi yang dilakukannya.

Kesempatan itu langsung kumanfaatkan untuk mengeluhkan rasa nyeri yang masih kurasakan meski sudah diberi suntikan anti sakit oleh perawat. Mendengar keluhanku itu, dokter Erwin lalu meminta perawat untuk memberi obat anal. Obat pereda sakit yang dimasukkan lewat --maaf-- dubur. "Obat ini memberi efek lebih baik ketimbang suntikan," tutur sang perawat.

Memang, setelah istriku memasukkan obat seperti 'peluru' berwarna putih itu, rasa nyeri di pundak kiriku berangsur lenyap. Dan hari itu, bisa kulalui dengan lebih baik. Seperti operasi sebelumnya. Seharian itu aku kembali mengamati sekelilingku.

Semua masih seperti sehari atau malah dua hari sebelumnya. Jumlah pasien masih lima orang. Dua anggota marinir, dan lainnya pasien sipil. Pak Masrukan masih juga belum dioperasi. Entah kenapa dia harus menunggu jadwal operasi untuk tulang selangka begitu lama. Menurut pak Masrukan, operasinya baru diagendakan hari Senin.

Oya, hari ini ranjang pak Yahya kosong. Pria keturunan Arab ini 'mudik' untuk menikmati suasana lain di rumahnya. Sebagai pasien yang sudah menghuni ruangan ini sejak dua bulan lalu, pak Yahya memang sepertinya diberi 'hak istimewa' pulang pada saat-saat tertentu. Yah sekedar week end mungkin agar tidak makin stres menghadapi luka di bagian paha kanannya.

Tabung infus berikut selangnya sudah dilepas dari tangan kananku. Namun, jarum yang ada di punggung pergelangan tangan kananku tak ikut dicabut. Melalui jarum itu, perawat memberiku obat pereda sakit setiap hari tiga kali. Siang sekitar pukul 14.00, malam jam 20.00, dan dini hari pukul 04.30. Di saat-saat pemberian suntikan ini lah aku pasti stres, lantaran rasa sakit yang begitu kuat ketika cairan obat itu menjalari pembuluh darah di tangan kananku. (*)

20 September 2008

Menit menit penentuan.....

Sabtu (2/8) Subuh. Sekitar pukul 05.30 WIB, masih dengan mengenakan sarung dan kopiah, dokter Erwin kembali mengunjungi kamar perawatanku. Selain memeriksa kondisi pasien lain yang ada di bawah penanganannya, dia juga kembali meminta ketegasan soal keputusanku.

"Kalau akhirnya ini saya serahkan dokter, saya harap yang terbaik yang dokter lakukan pada saya!" Hanya itu kalimat penuh kepasrahan yang bisa aku ucapkan padanya. Dengan harapan, pada operasi berikutnya ini dia betul-betul melakukannya dengan teliti sehingga nanti mendapat hasil maksimal.

Istriku yang mengetahui kegundahan hatiku mencoba ikut ambil peran. "Apa dokter bisa memberi jaminan tertulis? Karena kantor suami saya tentu juga ingin mendapat keyakinan bahwa tindakan yang dilakukan tidak merugikan karyawannya!"

Tampaknya dokter Erwin sedikit terusik dengan gertakan itu. Tapi, dokter spesialis tulang, sendi, urat, dan otot ini mencoba berkelit,"Bisa saja saya memberi surat itu. Nggak masalah. Tapi apa perlu. Karena ini sudah sering saya lakukan. saya yakin tidak ada efek apa-apa terhadap kondisi kaki karena yang diambil sedikit sekali."

Akhirnya memang hanya kepasrahan pada-Nya yang bisa kulakukan. Seraya terus berharap dan berdoa agar Allah tak henti memberi kekuatan padaku untuk menjalani cobaan ini. Begitu dokter Erwin berlalu, suster kembali memasang botol infus dan menyerahkan baju seragam yang mesti dipakai untuk masuk ruang operasi. Jika sebelumnya ada celana panjang plus baju lengan pendek dengan warna sama, kuning, kali ini hanya baju yang diserahkan.

Tak masalah. Karena saat operasi pertama hari Kamis lalu pun celana itu tidak kupakai. Untuk penutup bawahan, kupakai kain sarung yang kubawa dari rumah. Atas perintah dokter Erwin, perawat sudah mengantarku ke ruang bedah lebih awal, sekitar pukul 08.00 WIB.

Menjelang pintu masuk ICU yang berbatasan dengan ruang bedah, aku bertemu dengan Edi, teman dari bagian layout di kantorku. Dia sedang menunggu pacarnya yang menjalani operasi juga. Tapi untuk kasus semacam tumor di bagian kewanitaannya. [belakangan baru kuketahui, gadis itu meninggal lantaran penyakitnya sudah kronis. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun......]

Adikku, Ari kali ini datang lebih awal. Dia --sesuai janji dokter Erwin-- diberi kesempatan untuk ikut masuk ke ruang operasi. Sebetulnya peluang itu diberikan pada isteriku, tapi lantaran khawatir malah bakal pingsan di dalam, maka Ari yang gantikan posisinya.

Ayahku dan Dini juga ikut mengiringi ke pintu masuk ruang bedah. Ibu tidak ikut datang. Selain perjalanan menuju paviliunku cukup jauh, hari itu Ibu juga mengurus berkas pengobatan Ayah.

Momon, adikku yang kerja di Semarang juga sempat datang bersama isteri dan anak bungsunya, Sultan. Tapi, aku tak sempat ketemu mereka. Aku sudah di dalam menunggu persiapan pembedahan berikutnya. Persiapan awal sudah dilakukan. Berikutnya suntikan, entah untuk apalagi.

Setelah itu, aku digeser ke ruang cukup luas dengan lampu-lampu bulat besar di atas. Tubuhku hanya tertutup kain warna hijau. Kain sarungku sudah ditarik paramedis. Tangan kananku yang tersambung slang infus diletakkan pada sebuah papan dan diikat. Disambung dengan alat pengukur tekanan darah. Tenaga paramedis juga memasang tiga alat deteksi jantung. Satu dipasang di punggung sebelah kiri, dua lainnya di dada.

Aku sempat melirik jarum jam yang menunjuk angka 10.00 sebelum akhirnya kembali kehilangan kesadaran. Tanpa mimpi yang sempat kuingat, atau apa pun yang menyela ketidaksadaranku. Hanya sesaat ketika kudengar suara berisik. Kesibukan para perawat yang membereskan ruangan.

Ada rasa lain yang terasa tidak nyaman. Tidak seperti operasi sebelumnya. Operasi ketiga ini menimbulkan rasa perih pada luka bekas operasi. Kepedihan itu begitu terasa seakan aku tadi tidak diberi obat pereda sakit.

Sekitar pukul 14.00 WIB aku meninggalkan ruang bedah dan menuju kamar foto rontgen. Kembali ke paviliun, aku disambut pelukan Dini. Lintang, anak sulungku tidak ikut karena sejak Kamis kemarin ada di Gresik untuk ikut kompetisi panjat tebing.

Dada ini terasa plong. Paling tidak kehadiran mereka membuatku jadi sedikit nyaman. Meski akhirnya aku tak kuasa menahan lelehan air mata. Bukan penyesalan karena pilihan operasi yang baru saja kujalani.

Tapi, luka itu begitu terasa nyeri! Waktu masuk paviliun itu pula, aku baru sadar bahwa kaki kiriku, mulai bagian lutut ke bawah dibebat sepanjang lebih dari 20 cm. "Seperti apa luka di kaki yang kata dokter diambil jaringan tulangnya ini?" (*)